Kontinum.org – Jurnal Antiotoritarian Online

Teks

Pembelajaran dari Momen-momen Lalu

May 2, 2013 by in Artikel, Redaksioner

Di bulan Mei, kita di Indonesia akan berjumpa dengan momen-momen bersejarah. Dimulai dengan Mayday pada awal bulan, lalu Hari Pendidikan Nasional, atau Hari Kebangkitan Nasional. Salah satu peristiwa bersejarah di bulan Mei adalah tumbangnya Soeharto bersamaan dengan keruntuhan Orde Baru.

Sudah terlalu banyak ulasan mengenai peristiwa ini. Begitu juga refleksi dan pembelajaran yang disarikan dari momen revolusioner tersebut sudah sering kita baca dan dengar. Namun di bulan Mei 2013 ini, kurang lebih setahun sebelum kekuasaan diundi ulang dalam pemilu 2014, ingatan kita akan peristiwa 15 tahun lalu itu patut dipanggil kembali, dikarenakan oleh beberapa hal yang penting.

Pertama, menguatnya kecenderungan militeristik atau yang mendorong pembiasaan militerisme. Kedua, semakin banyak dan bertambahnya peraturan dan regulasi yang nyata-nyata menyerang dan mengancam kebebasan sosial yang mendasar seperti UU PKS, RUU Kamnas dan Ormas, serta hal sejenis. Ketiga, menguatnya populisme atau politik yang berbasis tokoh-tokoh populis yang menghiasi pemilu-pemilu lokal di berbagai daerah.

Sementara yang keempat adalah semakin agresifnya kapital mengeksploitasi pekerja dengan tata kontrol yang semakin rumit dan vulgar, seperti dalam politik upah murah, pemberangusan organisasi pekerja, maupun sistem alih daya (outsourcing) yang melemahkan posisi pekerja. Dan yang kelima, fenomena berduyun-duyunnya para aktivis terlibat kontes politik dalam pemilihan anggota parlemen atau kepala pemerintahan, baik di skala nasional maupun level daerah.

Gambaran-gambaran tersebut menunjukkan kekalahan ‘gerakan reformasi’ yang memang hanya berorientasi menata kembali struktur penghisapan dan penindasan. Kita tidak perlu menggerutu dan menyesali perubahan-perubahan ini, semenjak kita memahami bahwa kesadar-an yang berkembang saat itu tidak ditopang oleh gagasan-gagasan mengenai sistem sosial alternatif yang bisa dibangun oleh rakyat.

Ada dua penyebab mendasar dari situasi ini. Pertama, terjadi kekosongan akan ide-ide atau gagasan mengenai sistem sosial alternatif selain model demokrasi (baik itu condong ke kanan yang liberal, maupun ke kiri yang sosialis). Saat itu, bahkan elemen paling radikal pun, hanya menawarkan versi Kiri dari model pemerintahan sosial-demokrat yakni mengajarkan masyarakat untuk memilih siapa yang paling cocok untuk mengeksploitasinya. Dasarnya berasal dari doktrin bahwa rakyat belum mampu melampaui kesadaran ekonomis, sehingga belum bisa mengemban dan menuntaskan tugas-tugas revolusioner.

Hal kedua, tidak ada atau sangat lemahnya alat untuk memperjuangkan gagasan ini. Gagasan-gagasan ini tidak terkonsolidasi dengan bagus, hanya tersebar secara eksklusif, sporadis dan tidak punya arah yang jelas. Kebanyakan lebih banyak bersembunyi di balik retorika ‘tanpa cetak biru,’ ‘spontanitas,’ dan kecenderungan-kecenderungan gaya hidup saja. Alat yang kita maksud disini bisa berupa organisasi anti-otoritarian, jaringan kerja non-sentralistik, atau federasi kelompok-kelompok otonom yang militan.

Ini tentu kedengaran klasik sekaligus klise. Dalam tradisi non-otoritarian, perdebatan ini tak kunjung selesai. Bila kesimpulan ini akhirnya keliru, maka kita harus siap untuk keliru dari hasil membenturkan analisa kita dengan kenyataan di depan mata. Tetapi bukan keliru karena fantasi.

Dari kedua hal itu kita bisa membayangkan bahwa dalam situasi yang berbeda, dimana gagasan dan arah jelas dari perjuangan kita bertemu dengan alat yang kuat, maka sejarah bisa mencatat hal lain.

Ya, sejarah bisa saja lain jika kesadaran dan gagasan-gagasan tersebut berkembang di tengah-tengah masyarakat umum. Gagasan untuk mengambil-alih alat produksi dan menciptakan sistem produksi dan distribusi non-kapitalis, gagasan untuk menciptakan dan mengontrol sendiri aspek-aspek kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, secara mandiri dan otonom. Gagasan untuk mengelola kehidupannya sehari-hari secara mandiri. Gagasan yang menghapus hirarki sosial dari tingkatan terkecil hingga level sosial.

Tentu saja peristiwa Mei 1998 dan sesudahnya tidak akan dipecundangi oleh politisi-politisi picik, atau mungkin juga pemimpin gerakan, bila gerakan rakyat punya tradisi untuk senantiasa mengenyahkan pemimpin dan elitisme, serta hirarki dan dominasi dalam internal gerakannya.

Di bulan Mei 2013 ini, menghirup aroma-aroma perjuangan di jalan-jalan kota dan tanah-tanah di desa, kita bisa membaca gejala bahwa Orde Baru segera di-bangkitkan. Ia dihidupkan setelah beberapa lama mumminya dibalsem dalam sistem politik yang brutal. Kita bisa merasakan bahwa kapitalisme senantiasa dikemas dalam wujud yang berbeda, dari paling agamis hingga sosialis. Dan kita tidak boleh tertipu oleh kemasan.

Setelah belajar dari sejarah lalu, kita tidak boleh mengulang kembali begitu saja. Untuk melihat masa depan, kita bisa menebaknya dari apa yang kita tuangkan di bejana hari ini.

Karenanya kita harus memperkuat konsolidasi dan komunikasi, penyebarluasan gagasan, mempelajari dengan tekun bagaimana musuh kita beroperasi dan terus menata perjuangan kita. Kita percaya bahwa rakyat bisa melakukan tindakan-tindakan revolusioner tanpa membutuhkan seorang yang memiliki hak khusus untuk mendikte dan mengontrolnya. Melalui proses dan pembelajaran ya-ng terus menerus, dalam pengorganisiran dan pembangunan kesadaran, rakyat bisa untuk menggulingkan kapitalisme dan menggantinya dengan sistem sosial yang benar-benar berbeda.

Selamat berjuang!

 

diterbitkan dalam Serum #5 – Mei 2013

Tagged mei 98

Flash News
Terbitan Terbaru !
Serum #5 - Cover

Serum #5 - Mei 2013