Teks
Ayo Lawan! Militer Mencoba Kembali Naik Panggung
“Tidak boleh ada yang mengganggu Kopassus karena Kopassus adalah senjata negara. Siapa yang mengganggu Kopassus, itu namanya salah alamat. Sebelas prajurit Kopassus penyerang dan membunuh 4 tahanan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, tidak melanggar hak asasi manusia.”
(Mayor Jenderal Agus Sutomo, Komandan Komando Pasukan Khusus)
Pernyataan tersebut dengan tegas dilontarkan petinggi Komando Pasukan Khusus dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Pertahanan, yang dimuat di Kompas, 16 April 2013. Peristiwa penembakan empat tahanan di Penjara Cebongan, Yogyakarta oleh anggota Kopassus pada 23 Maret 2013 itu menjadi berita yang mencengangkan. Keempat tahanan ini adalah pelaku penusukan anggota Kopassus di sebuah bar di Sleman, pertengahan Maret lalu. Sebagai balas dendam, aparatus negara ini dengan sengaja mengabaikan ‘keagungan demokrasi’. Tanpa proses hukum panjang, mereka begitu saja menghabisi nyawa keempat orang tahanan tersebut.
Di balik kejadian ini sesungguhnya ada pertanda yang menunjukkan bahwa secara perlahan namun pasti, kita sedang digiring untuk kembali ke masa Orde Baru dimana militer memiliki legitimasi dalam roda kekuasaan. Militer kini membangun kembali tapak-tapak jalan baru. Bukan lagi hanya siaga di wilayah perbatasan dan barak-barak, tapi hadir terang-terangan di sela-sela kehidupan masyarakat dan urusan publik.
Dalam kasus penjara Cebongan ini, elemen sipil tidak berdaya. Pernyataan lantang Agus Sutomo di atas makin mempertegas bahwa tak boleh ada yang berani macam-macam!
Tapi begitulah militer. Watak militer Indonesia diwariskan turun temurun dari sejarahnya yang bengkok. Militer Indonesia berasal dari Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) dan Pembela Tanah Air (PETA), serta milisi-milisi rakyat.
KNIL adalah tentara bentukan kolonial Belanda untuk memulihkan kekuatan Vereniging Oast Indishe Compagnie (VOC) setelah Perang Diponegoro yang menghabiskan 15.000 serdadunya. Penjajah ini butuh tentara, tapi orang Belanda terutama kelas menengah atas, tidak mau jadi prajurit. Mereka hanya mau jadi perwira. Serdadu KNIL diambil dari gelandangan Eropa dan pribumi yang pro-VOC. Mereka dilatih dan dididik ala Belanda.
Sementara PETA adalah tentara bentukan penjajah Jepang, dimana serdadunya direkrut dari orang-orang pribumi dan diberi latihan militer dan disiplin keras. Banyak pribumi yang tertarik masuk karena upahnya lebih besar dari serdadu Jepang sendiri.
Sementara komponen terakhir adalah laskar rakyat yang kebanyakan mengorganisir diri dengan motifasi perjuangan. Meskipun lebih militan, mereka tidak punya keterampilan administrasi dan kecakapan militer yang memadai. Itulah kelak golongan ini terdepak dari tentara modern Indonesia.
KNIL dan PETA keduanya berwatak sama: dibentuk oleh dan untuk kepentingan penjajah, dan orang-orang pribumi hanya punya motivasi upah sebagai serdadu bayaran. Para bekas KNIL dan PETA inilah yang masuk ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal ABRI (Angkata Bersenjata Republik Indonesia) yang kini bernama Tentara Nasional Indonesia.
Pada masa Orde Baru, militer menjadi tameng dan alat bagi kekuasaan Soeharto. Tidak terhitung banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh militer. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, pembunuhan massal di Dili, Timor Leste, pembunuhan anggota dan yang dituduh PKI, kasus Tanjung Priok, penculikan aktivis, penembakan mahasiswa Trisakti, peristiwa Semanggi dan masih banyak lagi kasus kekerasan yang tidak terungkap.
Di pertengahan 80-an, dikenal istilah petrus atau ‘penembak misterius’. Saat itu aparat membunuh orang-orang dianggap sebagai preman dengan ciri-ciri bertato dan berambut gondrong. Mayatnya dibuang ke tempat-tempat umum untuk menyebarkan ketakutan di masyarakat. Motif menakut-nakuti masyarakat ini juga yang nampak dalam peristiwa penjara Cebongan, Yogyakarta.
Ini bisa menjadi penggambaran bahwa tentara memang eksis untuk melindungi otoritas dan kepentingan kekuasaan dengan cara-cara yang bengis. Watak yang diwariskan hingga saat ini.
Di era yang disebut reformasi ini, kekerasan militer zaman Orba yang terungkap bukannya mendapat hukuman agar tidak lagi terulang menjadi sejarah. Sebaliknya, elit-elit militer yang diduga kuat sebagai dalang, justru tampil dengan citra baru yang bersih. Beberapa di antaranya memegang kekuasaan.
Kini secara sistematis, ruang gerak militer perlahan kembali dibuka melalui berbagai aturan dan regulasi yang menjadi akses luas bagi militer untuk masuk ke ranah-ranah publik. Misalnya Undang-undang Penanggulangan Konflik Sosial (UU PKS) yang memberi legitimasi militer untuk turut campur dalam konflik sosial, termasuk konflik-konflik agraria. Atau UU Keamanan Nasional yang memberikan wewenang Presiden untuk mengarahkan militer dalam penanganan ancaman bagi negara. Dan RUU Organisasi Massa (RUU Ormas) yang secara sistematis bertujuan untuk mematikan gerakan-gerakan perjuangan rakyat.
Militer kini bersiap kembali naik panggung. Kasus Cebongan dan berbagai kekerasan militer yang menguap begitu saja, adalah contoh yang menunjukkan masih lemahnya respon rakyat secara luas atas ancaman terhadap kebebasan sipil. Kelemahan ini adalah pintu bagi militer untuk kembali berkuasa.
Membiarkan negara mengeluarkan berbagai rancangan dan aturan yang membatasi kebebasan, menandakan masyarakat membuka gerbang bagi ketertindasannya dan bersiap dengan fasisme.
Kini, militer mencoba kembali untuk naik ke panggung kekuasaan. Itu artinya apapun bisa terjadi, apapun boleh dilakukan, dengan dalih kepentingan negara dan keamanan nasional. Itu artinya kita harus mengulang sejarah-sejarah kelam yang begitu mengerikan. Jika kita ingin melindungi kebebasan kita, dan memperluas ruang untuk terus melakukan perjuangan melawan kapitalisme, kita mesti melawan tirani ini.][
diterbitkan dalam Serum #5 – Mei 2013
Sebar melalui :
- Tumblr
-
- Digg
- StumbleUpon
Tagged fasisme, militer, militerisme, Orde Baru