Kontinum.org – Jurnal Antiotoritarian Online

Teks

Ketika Seni Kembali Mengancam

January 6, 2013 by in Artikel with 0 Comments

Pembangkangan Artistik Pussy Riot dan Voina di Rusia

Ishmael Yahalah

 

Di penghujung Februari itu, Rusia tengah mengalami musim dingin, tapi suhu politik cukup panas menjelang pemilu. Di jalan-jalan utama, penduduk yang berlalu lalang mesti membungkusi badan dengan pakaian yang cukup tebal.

Di sebelah utara tepi Sungai Moskow yang membelah kota, berdiri megah dan besar bangunan bergaya neo-klasik Turki. Orang-orang mengenal bangunan itu sebagai Gereja Katedral Kristus Sang Penyelamat. Warnanya putih bersih berkubah emas. Letaknya tak jauh dari Istana Kremlin.

Di hari yang dingin itu, tidak ada misa yang berlangsung di dalamnya. Gereja Ortodoks Rusia itu nampak lengang dan sedikit senyap. Hanya ada beberapa pengunjung dan turis yang tengah berziarah ditemani pemandu dan beberapa biarawati. Di hari-hari tertentu, ruang utama bisa menampung ribuan jemaat.

Lalu, suasana kudus yang membungkus altar dan hiasan jendela warna-warni, tiba-tiba buyar dipecah sebuah kasak-kusuk. Segerombolan orang berpenampilan nyentrik menerobos masuk ke dalam gereja. Dibawanya gerusukan suara yang memekakkan telinga, yang kontras dengan kesenyapan sebelumnya.

Di altar tempat misa biasa dihelat, lima orang para penerobos itu berdiri penuh percaya diri. Mereka bukan pendeta agung berjubah harum nan mengkilap. Bercelana ketat dengan atasan longgar menyerupai daster, malah kepalanya ditutup topeng berwarna yang hanya menyisakan mata dan mulut.

Berdansa mereka berteriak menyanyikan refrain ‘Mother of God, Chase Putin Away!’ berulang-ulang :

Bunda Maria, jadilah feminis!
Bunda Maria, singkirkan Putin!

Mereka tidak sedang mengumandangkan puji-pujian selepas khotbah panjang. Orang-orang bertopeng warna-warni itu juga bukan barisan choir gereja, melainkan Pussy Riot, sebuah grup punk perempuan.

Sontak, gegerlah gereja! Aksi yang mereka sebut ‘Punk Prayer’ itu hanya berlangsung sekitar satu menit. Para biarawati dan petugas keamanan mengusir Pussy Riot keluar.

Keesokan hari seluruh Rusia gempar oleh vandalisme itu. Pihak Gereja murka dengan aksi yang diklaim sebagai “pelecehan akan kesucian gereja.” Namun Pussy Riot justru menyebut aksi itu sebagai “protes politik yang artistik.”

Tanggal 3 Maret 2012, sehari setelah Vladimir Putin dinobatkan menjadi presiden untuk kali kedua, Maria Alyokhina (25 tahun) dan Nadezhda Tolokonnikova (30 tahun), dua

anggota Pussy Riot ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Pengadilan menuntut mereka atas ‘holiganisme dan penistaan terhadap agama’ dengan ancaman 7 tahun penjara! Respon berdatangan dari seantero Rusia, bahkan penjuru dunia. Demonstrasi dan protes pun dilancarkan.

Tanggal 5 Maret, anggota lainnya Yekaterina Samutsevich (28 tahun) menyusul diciduk dengan tuntutan yang sama. Dua anggota lainnya berhasil lolos dari kejaran polisi dengan meninggalkan Rusia. Tetapi keluarga mereka, termasuk anak-anak kecil, menerima teror dan ancaman mati.

Disokong Gereja

Kini di Rusia, banyak yang kecewa dengan hasil pemilu, terutama karena kecurangan dan manipulasi yang dilakukan pemerintahan Putin yang mengantarkannya menang. Rakyat marah dan menuntut kebebasan politik.

Di bulan Juni 2012, sebuah peraturan baru anti-demonstrasi jalanan diluncurkan. Undang-undang tersebut dianggap akan membawa Russia kembali ke era Stalin. Segera hal tersebut memicu protes berskala besar. Dalam sebuah protes tanggal 12 Juni, 10.000 orang turun ke jalan untuk melawan kediktatoran Putin, berselang beberapa minggu setelah pelantikannya sebagai presiden.

“Putin telah menunjukkan wajah yang sebenarnya, bagaimana ia ‘mencintai’ rakyat, yakni dengan pukulan polisi,”

Berkali-kali protes dan rally tidak ditanggapi oleh pemerintah. Aksi demo menentang pemerintah seringkali berakhir ricuh. Bulan Juni itu, 500 orang ditangkapi dalam sebuah protes yang dihentikan oleh represi polisi dan paramiliter. Kondisi Rusia paska Uni Sovyet memang tidak banyak berubah.

Atas situasi itu, banyak rakyat yang muak dan marah. Dmitry Gorbunov, 35 tahun, seorang analis komputer mengungkapkan, “Putin telah menunjukkan wajah yang sebenarnya, bagaimana ia ‘mencintai’ rakyat, yakni dengan pukulan polisi,” katanya dalam sela-sela protes anti Putin.

Meski kemarahan mengkristal di sebagian warga, tetapi tidak untuk yang lainnya. Penyebabnya, Putin disokong oleh Gereja Ortodoks, gereja berpengaruh di Rusia. Pemimpin gereja ortodoks Ivan Ostrakovsky menyatakan, “Kita harus melindungi bumi Rusia yang suci ini dari kaum liberal dengan segala macam ideologi setan mereka.”

Gereja beralasan bahwa hanya Putin yang bisa melindungi Rusia dan mereka mendukung Putin sepenuhnya, salah satunya dengan memobilisasi anggota gereja untuk mengadakan patroli malam membantu polisi.

Jemaat gereja berubah menjadi polisi-polisi rahasia, agen paramiliter yang meneror dan merepresi kebebasan sipil dan politik masyarakat luas. Bagi Putin, konspirasi peranan gereja ortodoks ini jelas menguntungkan kelangsungan kekuasaannya. Dalam eksepsinya di hadapan pengadilan Agustus 2012 lalu, salah seorang anggota Pussy Riot yang disidang, Yekaterina Samutsevich, mengatakan bahwa Gereja Katedral Kristus Sang Pembebas telah menjadi simbol signifikan atas strategi politik kekuasaan Putin, terutama semenjak Kirill Gundyayev, salah satu kolega Putin di KGB, mengambil alih kepemimpinan Gereja Ortodoks Rusia.

Atas hubungan tercela antara kaum agamawan dan penguasa otoriter itulah, kelompok-kelompok perlawanan semakin marah. Aksi Pussy Riot di Gereja Ortodoks Rusia dengan sengaja ditujukan sebagai perlawanan terbuka atas relasi kotor tersebut, untuk menyulut gerakan yang lebih luas serupa pemberontakan rakyat Arab akhir 2010 lalu.

Gerilya Para Perempuan Pembangkang

Aksi di Gereja Katedral tersebut bukanlah yang pertama. Sebagai grup politik radikal, Pussy Riot telah berulangkali muncul dalam aksi-aksi subversif dadakan sejak terbentuknya. Kadang berakhir dengan penangkapan.

Menandai kemunculannya yang pertama secara publik, sebuah konser ilegal diorganisir pada November 2011 di atap stasiun kereta bawah tanah Moscow Metro. Konser tersebut menyerukan pesan-pesan yang menyerang pemerintah, termasuk politik Putin yang mengekang kaum perempuan. Dengan cepat kelompok ini menjadi pembicaraan di Rusia.

Masih di bulan yang sama, Pussy Riot kembali dengan aksinya. Mereka menyasar sebuah kawasan perbelanjaan elit, membawakan lagu berjudul Kropotkin Vodka yang berisi hujatan atas kekuasaan pemerintah, dan seruan feminis kepada kaum ibu rumah tangga untuk terlibat dalam perjuangan revolusioner. Beberapa orang anggota menaiki atap sebuah mobil mewah yang sedang dipajang di sebuah gerai mobil, dan menjadikannya panggung mini. Beberapa orang lain menyulut kekacauan dengan menyemprotkan alat pemadam api, dan mengacak-acak sebuah butik pakaian mahal. Tak berhenti disitu, mereka juga mendatangi dan menghentikan sebuah fashion show yang tengah berlangsung di tempat itu, dan mengambil alih catwalk untuk mengolok-olok masyarakat borjuis.

banyak orang di Rusia yang siap melakukan aksi-aksi yang lebih radikal ketimbang para pemimpin-pemimpin gerakan oposisi yang ada di negeri itu

Di bulan Desember 2011, mereka secara terbuka menekan pemerintah untuk membebaskan Alexei Navalny, seorang aktivis dan narablog yang kerap melontarkan kritik tajam ke pemerintah. Aksi mereka berlangsung di atap sebuah gedung yang
Konser ilegal sebagai aksi protes kembali digelar di bulan Januari 2012. Dalam aksi itu, Pussy Riot akhirnya tertangkap. Konser yang menyerang Putin itu dengan cepat dihentikan oleh polisi yang kemudian menggelandang mereka ke sel tahanan dengan tuduhan menggelar kegaduhan dan protes ilegal. Penangkapan tersebut pada akhirnya dengan cepat memperkenalkan Pussy Riot ke dunia internasional.bersebelahan dengan penjara tempat Alexei disekap. Dengan sebuah lagu bertitel “Death To Prison, Freedom to Protest”, orasi-orasi yang meledak-ledak dan sebuah spanduk besar yang dibentangkan berisi dukungan terhadap semua yang berada di balik jeruji, aksi itu disambut hangat oleh para tahanan di penjara tersebut.

Hal tersebut tidak membuat Pussy Riot mundur dan jera. Dalam sebuah pernyataan media, salah seorang dari mereka yang memakai nama samaran Schumacher, menegaskan bahwa banyak orang di Rusia yang siap melakukan aksi-aksi yang lebih radikal ketimbang para pemimpin-pemimpin gerakan oposisi yang ada di negeri itu. Atas tekanan internasional, Pussy Riot dibebaskan.

Lepas dari tahanan mereka kembali melancarkan serangan, hingga berakhir dengan penangkapan di Gereja Kristus Sang Pembebas, bulan Februari 2012 lalu. Hingga kini solidaritas dan tekanan internasional terus bermunculan, termasuk dari Indonesia. Meski beberapa anggotanya mendekam di balik jeruji besi, Pussy Riot mendeklarasikan diri untuk tetap melawan dan memperluas perlawanan.

Seni Sebagai Alat Protes

Pussy Riot sebenarnya bukanlah sekedar band. Mereka adalah grup politik yang sengaja dibentuk oleh motivasi dan tujuan politik. Para anggotanya adalah aktivis lingkungan dan hak-hak sipil. Mereka terinspirasi grup-grup serupa seperti Riot Grrrl.

Tradisi punk rock dalam gaya maupun lirik-liriknya yang penuh emosi, langsung, dan satir, sangat nampak. Mereka sengaja memainkan musik yang cepat, ribut, dan berdurasi singkat, untuk menunjang tujuan mereka menjadikan musik sebagai alat protes politik jalan. Durasi yang singkat dan dadakan memungkinkan mereka menampilkan aksi-aksi yang lugas, tuntas, dan bisa menghindar dari kejaran aparat.

Mereka tidak tertarik dengan panggung-panggung hiburan dan showbiz.

Tahun 2012 Pussy Riot merilis album pertama, Kill The Sexist! yang hanya berisi 6 lagu yang direkam secara minimalis menggunakan instrumen musik dan perangkat komputer personal. Isinya pesan-pesan provokatif anti-pemerintah, menganjurkan feminisme, dan pembangkangan sosial.

Dandanan mereka urakan, hal yang lumrah bagi sebuah band punk seperti mereka. Dengan asesoris utama berupa balaclava warna-warni yang menutupi seluruh kepala, pakaian musim panas (di tengah musim salju yang menyengat), Pussy Riot dengan mudah dikenal oleh lingkungan di luar komunitas punk. Selain sebagi strategi komunikasi yang cerdas, menutup wajah adalah cara untuk berlindung dari represi negara.

Salah satu hal menonjol  dari band yang terbentuk sejak 2011 ini adalah komposisinya yang seluruhnya perempuan, meski hal seperti ini biasa bagi kultur punk. Anggota Pussy

Riot berjumlah 12-15 orang, dimana terjadi pembagian peran antara penampil dan pendokumentasi aksi-aksi. Sebisa mungkin identitas anggotanya dijaga secara rahasia agar tidak terdeteksi agen polisi dan KGB.

Mengadopsi taktik gerilya urban modern dari Situationis Internasional, sebuah grup seniman radikal Perancis era 60-an, Pussy Riot melakukan aksi-aksinya secara ilegal. Menurut mereka, ilegalitas adalah poin yang ingin ditunjukkan. Mereka mencemooh kurator-kurator pada galeri-galeri seni yang hanya menjual barang-barang hiasan bagi borjuis.

Pussy Riot menegaskan posisi mereka untuk menggunakan seni sebagai alat protes dalam memperjuangkan kebebasan politik dan melawan kapitalisme. Dalam wawancara dengan media Jerman, Der Spiegel, September 2012 lalu, Nadezhda Tolokonnikova menegaskan bahwa mereka adalah “bagian dari pergerakan anti-kapitalis global yang terdiri dari para anarkis, kaum Kiri, feminis dan otonomis.”

Seni Sebagai Perang

Pussy Riot bukanlah yang pertama yang dihukum negara karena aksi-aksi protes artistik. Kita tentu tidak bisa melupakan Voina, kelompok seniman radikal yang berbasis di Moskow dan St. Petersburgh yang awalnya terdiri dari puluhan seniman aktivis yang militan. Terinspirasi Dadaisme, Situationist dan anarkisme kontemporer, Voina melakukan aksi-aksinya untuk menantang kekuasaan negara Rusia.

Pussy Riot adalah kelompok sempalan dari Voina. Sebelumnya Nadezhda Tolokonnikova dan Yekaterina Samutsevich adalah anggota Voina!

Voina, yang dalam bahasa Rusia berarti “perang”, memang tengah melancarkan perang melawan negara, kapitalisme dan kehidupan modern yang muram, dangkal dan sangat mengekang. Mereka mengorganisir protes-protes artistik yang radikal. Elemen-elemen artistik yang disisipkan ke dalam protes-protesnya sangat agresif, anarkistik, dan liar.

Berlawanan dengan kultur borjuis dalam pergaulan seniman pada umumnya, aksi-aksi Voina mendapat tentangan di kalangan seniman, terlebih setelah beberapa anggota Voina ditangkap polisi. Perdebatan tersebut masih seputar seberapa artistik-kah aksi-aksi Voina untuk disebut sebagai aksi seni? Atau bagaimana kadar seni dalam protes dan proses seni Voina? Apakah Voina menawarkan seni atau politik?

Tapi Voina memang tidak memiliki agenda membuat seni yang tertata, eksklusif dan glamor. Mereka memberontak terhadap institusi-institusi seni serta norma-norma artistik yang berlaku. Aksi-aksi Voina selalu melahirkan kontroversi karena konsep dan pesannya yang gila dan mendobrak batasan.

Sebuah pertunjukan bertitel A Dick Captured by The FSB, menampilkan graffiti penis raksasa di sebuah jembatan. Sementara A Fuck for Teddy Bear yang merupakan vandalisme berupa aksi orgy di Musium Biologi Moskow, dimaksudkan untuk menyerang seorang pejabat dalam pemerintahan Putin. Viona juga membuat pertunjukan berjudul Kiss the Rubbish atau Mencium Sampah, dimana mereka dengan kasar menciumi polisi yang mereka temui di jalan-jalan.

Saat mobil polisi terjungkal dan terbakar, itulah seni menurut Voina.

Di bulan September tahun lalu, dua anggotanya Oleg Vorotnikov dan Leonid Nikolaev ditangkap karena membuat sebuah pertunjukan seni berjudul Palace Coup, dengan merusak dan menjungkirbalikkan sebuah mobil patroli yang tengah melintas yang masih berisi aparat polisi di dalamnya. Saat mobil polisi terjungkal dan terbakar, itulah seni menurut Voina.

Meski dimusuhi oleh kebanyakan para seniman borjuis, Voina justru mendapat dukungan dari beberapa seniman terkenal dunia atas komitmennya melawan otoritarianisme. Salah satunya seniman jalanan termashur asal Inggris, Banksy, yang mendonasikan uang untuk kampanye pembebasan Voina.

Seni Telah Mati! Seni Hidup Lagi!

Di tahun 68-an slogan ‘seni telah mati, jangan nikmati bangkainya’ bergaung di tengah-tengah protes anak muda Perancis, mencela habis-habisan seni yang hanya menjadi komoditi tidak ubahnya telepon genggam dan sepatu hak tinggi. Kalangan seniman dan masyarakat umum diperbudak dunia seni dengan status sosial berdasarkan kadar artistik. Seni kehilangan ruhnya dan hanya hidup dalam dunia komoditi.

Seni telah mati, pokoknya!

Kebebasan berekspresi harus berupa kebebasan sepenuh-penuhnya, termasuk kebebasan dari penghisapan dan penindasan, juga kehidupan muram yang seolah-olah bahagia tetapi dangkal.

Di era kini, oleh Voina dan Pussy Riot, seni dipakai kembali untuk menampar kemunafikan masyarakat borjuis akan ‘kebebasan berekspresi’ yang berstandar ganda itu. Kaum seniman cenderung membutuhkan kebebasan berekspresi untuk keistimewaan dirinya, dan membuat kalangan penguasa aman. Ini tidaklah cukup. Kebebasan berekspresi harus berupa kebebasan sepenuh-penuhnya, termasuk kebebasan dari penghisapan dan penindasan, juga kehidupan muram yang seolah-olah bahagia tetapi dangkal.

Oleh Pussy Riot dan Voina, seni digunakan sebagai alat perlawanan. Aksi-aksi berani dan inspiratif itu juga mengandung resiko yang tidak kecil. Orang-orang berani ini telah menyulut skandal berskala dunia. Pesan anti-otoritarian mereka tersebar luas. Para seniman dimanapun harusnya mulai waras untuk keluar dari ilusi zona nyaman. Hanya dengan itu seni bisa kembali dihidupkan. Ketika seni kembali mengancam penguasa.][

 

dimuat dalam Serum #4 – Edisi November 2012

Tagged , pussy riot, rusia, seni, , viona

Related Posts

Flash News
Terbitan Terbaru !
Serum #5 - Cover

Serum #5 - Mei 2013