Kontinum.org – Jurnal Antiotoritarian Online

Teks

Membangun Perjuangan Otonom

November 7, 2012 by Alisa Dita Naimpian in Komunike, Redaksioner with 0 Comments

Beberapa waktu terakhir ini, media massa membuat kita larut dalam persoalan sengketa antara KPK dan polisi. Hal ini tidak ubahnya dengan menyaksikan pertandingan bola yang hanya memposisikan kita tetap sebagai penonton. Duduk di kursi, terus menyimak, menilai, menggurutu, atau paling banter mengapresiasikan dukungan melalui petisi, media sosial dan gerakan galang simpati.

Kebiasaan ini telah menina-bobokan masyarakat luas yang rindu perubahan. Mereka selalu bergantung pada lembaga negara, tokoh-tokoh populis, atau elit-elit politik. Mereka ketagihan dengan semua itu. Orang-orang sudah lupa bahwa di dalam diri kita ada kekuatan yang luar biasa besar. Namun kekuatan itu berserakan dan tak mampu menimbulkan gejolak perubahan.

Kita bisa melihat situasi yang berbeda dalam aksi buruh Mogok Nasional 3 Oktober kemarin. Jalanan dipenuhi ribuan orang. Aksi Mogok Nasional –terlepas dari kritik mendasar atas aksi tersebut, pada dasarnya menghadirkan kembali momentum pergerakan, yang kian waktu terus dimatikan oleh regulasi-regulasi negara dan siasat kapitalis. Gerakan ini tidak sekedar seruan, himbauan, namun aksi nyata yang menyerang perekonomian.

Walau berlangsung hanya sehari, dan diwarnai oleh negosiasi elitis para pimpinan buruh dengan wakil pemerintah, tetapi mogok nasional tersebut memberikan dampak signifikan bagi macetnya sirkulasi kapital. Di, Indramayu akibat  aksi mogok dan demontrasi buruh Pertamina sejak tanggal 3 Oktober lalu, mereka menutup semua jaringan gas ke sumur-sumur minyak mengakibatkan 80 sumur berhenti beroperasi dan menelan kerugian mencapai Rp 5,18 miliar. Di Jakarta, akibat aksi mogok nasional yang dilakukan buruh di Kawasan Industri Pulogadung, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan kerugian yang dialami perusahaan mencapai ratusan miliar rupiah. Begitu pula dengan pengusaha industri makanan dan minuman memproyeksikan nilai kerugian sektor tersebut mencapai Rp 2 triliun per hari akibat aksi demo dan mogok nasional buruh yang dilakukan serentak di sejumlah daerah.

Disini yang merugi adalah para pengusaha, bukan masyarakat umum, sebagaimana yang selalu dikampanyekan media massa dan pemerintah agar kita percaya dan turut merasakan kerugian tersebut.

Tapi tentunya nilai-nilai tersebut tidak seberapa jika dibanding akumulasi yang mereka sudah hisap dari para pekerja melalui sistem ini : upah yang rendah, tanpa jaminan sosial, dikebiri oleh union busting, atau diperah oleh sistem outsourcing. Dalam kapitalisme, pekerja memiliki posisi yang vital, tetapi disitulah letak kekuatan untuk dapat menyerang balik dengan mengguncang sistem produksi. Kesadaran akan posisi inilah yang membangun pergerakan pekerja dan wadah kekuatan dengan mengorganisir dirinya.

Dalam kerangka perjuangan sosial yang lebih luas, apa yang ditunjukkan oleh gerakan buruh ini semestinya juga menginspirasi kelompok-kelompok masyarakat lain yang juga berada dalam penghisapan dan penindasan kapitalisme dan negara.

Singkatnya, di bawah kapitalisme dan negara, seluruh ruang-ruang hidup masyarakat telah dirampas. Sepatutnya semua kelompok sosial ikut bergolak melawan sistem penghisapan dan otoriter ini.

Bila kita mencari alasan konkrit mengapa harus bangkit berjuang, maka sepanjang penglihatan kita telah menunjukkan mengapa kapitalisme dan negara yang menyokongnya harus dilawan. Perluasan kapital telah merampas tanah-tanah petani menjadi tambang dan pabrik, menancapkan beton-beton dan menggusur pemukiman orang-orang miskin di kota-kota, menyulap ruang-ruang publik menjadi pusat perbelanjaan, atau menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai barang jualan yang semakin susah dibeli orang banyak. Kehidupan ini dibawah tirani ekonomi kapital telah berubah sedemikan dangkal dan miskin secara materi dan spiritual.

Singkatnya, di bawah kapitalisme dan negara, seluruh ruang-ruang hidup masyarakat telah dirampas. Sepatutnya semua kelompok sosial ikut bergolak melawan sistem penghisapan dan otoriter ini.

Hal tersebut akan dapat melahirkan gairah perlawanan yang baru, yang menunjukkan bahwa semua kelompok sosial memiliki potensi perlawanan dan kekuatan untuk memperjuangkan kehidupannya. Kita bisa melihatnya dalam aksi-aksi sepihak para petani mengambil-alih tanah pertanian dari perusahaan, atau aksi-aksi protes kenaikan BBM beberapa waktu lalu.

Dan satu hal penting lainnya adalah sepatutnya juga dalam kebangkitan perjuangannya, setiap kelompok sosial membangun dan mempertahankan otonominya masing-masing. Bagi kita, ini tidak bisa ditawar. Untuk belajar menata kehidupan sosial di hari depan akan masyarakat bebas tanpa kekuasaan tersentral, maka kita harus memulai mempraktekkannya hari ini melalui organ-organ dan sel-sel pergerakan yang kita miliki.

Dengan karakter yang otonom, kita bisa menghindari error yang terjadi di masa lampau dimana revolusi menjauh dari kenyataan, menjadi sekedar pergantian dari penindas lama ke penindas baru. Dan hanya melahirkan trauma sejarah berkepanjangan.

Kini, di saat perjuangan sosial mendapat ancaman baru dengan munculnya aturan represif seperti RUU Ormas dan RUU Kamnas, kita senantiasa harus bisa saling bahu-membahu membangun kekuatan dari bawah. Hanya solidaritas horizontal yang bisa memperkuat bangunan perjuangan ini.

Sekecil apapun bentuknya, resistensi terhadap kapitalisme dan negara harus dirawat sehingga dapat tumbuh menjadi tradisi perlawanan yang kuat. Kita tidak bisa mencibir atau memojokkan setiap aksi-aksi yang menyerang tirani kapital, hanya karena aksi-aksi tersebut diluar koordinasi atau tidak masuk dalam agenda dan program kelompok kita. Kita mesti melampaui semua itu.

Dalam praksisnya pergerakan juga mesti bisa menjadi miniatur dan gambaran kehidupan yang dituju

Pergerakan juga harus dapat meninggalkan pola-pola reformis yang hanya memperkuat kekuasaan status quo. Ia tidak bisa lagi sekedar tampak sebagai tumpahan massa yang memenuhi jalan, dimana terdapat penggembala dan yang digembalakan. Dalam praksisnya pergerakan juga mesti bisa menjadi miniatur dan gambaran kehidupan yang dituju, dimana relasi sosial yang terjalin harus menghancurkan bentuk-bentuk relasi seperti sekarang yang hirarkis, berpola patron-klien, dan sentralistik. Relasi revolusioner harus bisa dibangun sekarang, bukan nanti pada momen revolusi.

Sebagaimana setiap dinamika sosial, perjuangan sosial pun memiliki kekuatan dan kelemahannya. Kita harus bisa saling menguatkan, tanpa kehilangan otonomi dalam menentukan diri sendiri. Dengan begitu, perjuangan akan lebih menggairahkan sehingga bisa menjalarkan dentum-dentum resistensi ke segala tempat.

Panjang umur perlawanan akar rumput!

Diterbitkan dalam Serum #04 edisi November 2012

Tagged mogok, otonomi, ,

Related Posts

Flash News
Terbitan Terbaru !
Serum #5 - Cover

Serum #5 - Mei 2013