Teks
Apa Yang Bisa Dipelajari Dari Aksi Mogok Nasional?
Sebuah Kontribusi Anti-otoritarian untuk Gerakan Pekerja
Pemogokan Nasional 3 Oktober 2012 adalah momen historis dalam situasi Indonesia kontemporer seperti saat ini. Ada banyak optimisme sekaligus pesimisme yang mengelilingi peristiwa ini. Kita tidak perlu mengulang berbagai komentar yang bertaburan seputar aksi-aksi ini.
Namun, alih-alih sebagai euforia heroik maupun sinisme ala kelas menengah yang nyaman, kita mesti melihatnya kembali dalam sebuah perspektif perjuangan menghapuskan kapitalisme dan otoritarianisme.
Disinilah diperlukan refleksi dan kritik, untuk membedakannya dengan ricauan –sesuatu yang lebih bertendensi mengevaluasi, menggerutu, dan mendiskreditkan semua hal-hal positif bagi perjuangan.
Kami, para anti-otoritarian, berpandangan bahwa untuk mencapai situasi yang maka pekerja mesti melangkah lebih jauh dari hari ini, melampaui beberapa hal yang membatasinya bergerak. Dan sebagai diagnosa serta kesimpulan awal, kami melihat ada beberapa poin mendasar yang bisa dipelajari dari momen Mogok Nasional, yang berguna bagi pekerja untuk membangun gerakan yang lebih baik ke depan.
1. Serikat Yang Hirarkis dan Birokratis
Pemogokan nasional ini menunjukkan fakta bahwa peranan utama masih dipegang oleh serikat pekerja, dalam arti yang lebih spesifik mayoritasnya adalah serikat-serikat yang birokratis dan hirarkis. Tidak bisa dinafikkan bahwa serikat pekerja merupakan wadah jamak bagi pekerja dalam mengorganisir diri memperjuangkan kepentingannya. Namun karakter utama dari mayoritas serikat yang birokratis dan paternalistik, sangatlah tidak menguntungkan pekerja, melainkan hanya elit-elit dan pimpinannya.
Pengambilan keputusan yang top down dan lebih didominasi oleh proses-proses formal, proses pengorganisiran yang tidak berbeda dengan organisasi sosial kebanyakan dalam masyarakat borjuis, hingga struktur organisasi yang meminimalisir kemandirian pekerja untuk bertindak, tidak banyak menguatkan pekerja untuk membangun “pembebasan diri” yang sesungguhnya.
Pergerakan serikat selalu diidentikkan dengan pergerakan pekerja. Dengan begitu juga mengidentikkan kepentingan serikat dengan kepentingan pekerja. Ini merupakan sesuatu yang penting untuk diklarifikasi, yang sama pentingnya untuk selalu mengklarifikasi bahwa kepentingan Partai Buruh selalu membawa kepentingan buruh. Pekerja harus awas dengan retorika-retorika politik.
Selama ruang dan proses dalam interen organ-organ serikat pekerja tidak memungkinkan pekerja mengekspresikan diri, mustahil serikat bisa memperjuangkan kepentingan mereka.
Hirarki dan birokrasi dalam gerakan pekerja tidak bisa dikesampingkan sebagai sebuah faktor sekunder dalam perjuangan anti-kapitalisme. Ia harus dihancurkan secepat mungkin dan mesti diemban oleh pekerja itu sendiri, tidak bisa diwakilkan atau dititipkan oleh kekuatan lain diluar mereka, termasuk para pemimpin, serikat atau partai-partai politik.
Kaum pekerja juga harus belajar dan melatih diri bagaimana memulai sebuah relasi baru dalam perjuangan. Kita percaya, ini bukanlah sesuatu yang mudah serupa mengedipkan mata. Akan tetapi, jika pekerja sendiri tidak memulainya sedini mungkin, gerakan pekerja tidak akan kemana-mana.
2. Ilusi Posisi Tawar dalam Kerangka Kapitalisme Global
Meskipun pemogokan dapat memaksa pemerintah dan pengusaha berunding, namun kaum pekerja seharusnya tidak terilusi dengan ‘posisi tawar’. Faktanya posisi tawar dalam hal ini direduksi hanya dalam konteks negosiasi. Untuk itu kaum pekerja harus melihat lebih jauh kekuatan dan potensinya, dan tidak mengerdilkannya hanya dalam konteks bi/tripartite semata, melainkan posisi tawarnya untuk menghapus kapitalisme.
Apakah serikat pada dasarnya tidak membela kepentingan pekerja? Apakah yang diperjuangkan bukan kepentingan pekerja?
Pekerjaan utama dari sebuah serikat pekerja adalah bernegosiasi dengan para majikan dan bos. Mereka bernegosiasi mengenai derajat dan tingkat eksploitasi yang boleh dan legal dilakukan. Serikat pekerja tidak akan dan tidak mungkin bernegosiasi tentang penghapusan kerja-upahan, kelas, dan aparatus penindasnya. Hal-hal tersebut adalah tugas pekerja itu sendiri, yang tidak bisa dinegosiasiakan dan dimandatkan ke pihak lain.
Tujuan gerakan pekerja bukanlah mendapatkan posisi tawar dalam kepentingan kelanjutan kapitalisme, atau untuk harmonis dengan kapital. Pekerja hanya berkepentingan untuk menghapus kelasnya dan penindas-penindasnya, untuk membangun komunitas manusia. Sebuah dunia yang baru!
Ini tidak berarti kita menolak seluruh upaya pekerja untuk melawan bentuk-bentuk penghisapan dan penindasan, dari cara yang paling reformis hingga revolusioner. Kami memahami bahwa tindakan dan strategi dibangun berdasarkan pemahaman dan kesadaran masing-masing. Dalam konteks inilah, kritik kami adalah kontribusi untuk gerakan pekerja.
Dalam situasi sekarang, dimana kita harus mendukung setiap upaya-upaya perlawanan dan perjuangan yang muncul, pertanyaan tentang anti atau pro serikat bagi kami bukan lagi hal yang utama. Melainkan tentang bagaimana semestinya kita mengorganisir diri di tempat kerja dan lingkungan komunitas, dan belajar dari kekurangan dan kesalahan.
3. Otonomi Kelas Pekerja
Para pekerja pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk menginisiasi tindakan dan aktivitasnya secara mandiri (self-activity) yang tidak melulu merupakan reaksi terhadap penindasan kapitalis. Ini adalah intuisi dan kecerdasan kolektif, dimana gerakan pekerja harus mengantisipasi dan merawatnya untuk terus tumbuh dan kuat. Swa-aktifitas adalah modal bagi pekerja untuk mengembangkan tindakan dan strateginya untuk emansipasi diri, dan bertindak sebagai kelas.
Akan tetapi, disebabkan struktur hirarkis dan tradisi birokratis dalam gerakan pekerja, hal ini cenderung dinafikkan dan diredam.
Jika kita ingin melihat emansipasi diri (self-emancipation) secara mendasar, maka pekerja harus terus menerus mengasah dan mempertahankan otonominya. Bukan saja otonomi dari kapital, melainkan dari organisasi-organisasi formal seperti partai dan serikat, termasuk dari sektor lain dalam kelas pekerja itu sendiri.
Memang, sebagai bagian dari masyarakat yang hampir seumur hidup dicuci otak relasi sosial yang hirarkis, cukup sulit mengimajinasikan bagaimana bentuk-bentuk pergerakan dan relasi sosial yang cukup berbeda. Tetapi hal berat ini juga harus dibangun sedini mungkin, melalui eksperimentasi-eksperimentasi dan pembelajaran.
Kadangkala upaya-upaya untuk mempertahankan otonomi ini direspon secara membabi-buta, seperti tuduhan-tuduhan bermotif ideologis yang peyoratif dan karikaturis –anarkis, liberal, borjuis kecil, dll. Tetapi kita tidak perlu menunggu sejarah terulang untuk membuktikan argumen ini.
Manalah bisa terwujud situasi yang serupa dan selalu didambakan oleh para revolusioner bahwa : “untuk pertama kalinya dalam sejarah, para proletariat membahas persoalan-persoalan yang dulunya hanya dikonsumsi oleh para filsuf,” bila pergerakan tidak membuka ruang dan melatih SETIAP pekerja untuk bisa menjadi dirinya, mendayagunakan dirinya, dan mengatur dirinya.
4. Menjadikan Mogok Sebagai Rekahan untuk Menghubungkan dengan Komunitas
Sudah terlalu lama pekerja teralienasi, baik dari lingkungan sosialnya maupun dari produk dan nilai yang dihasilkannya. Mogok adalah rekahan dalam kehidupan harian pekerja di bawah kapitalisme. Rekahan yang harus terus diperlebar agar menganga. Dan mogok adalah momen yang sangat tepat untuk menghubungkan antara pekerja dan komunitas masyarakat.
Semenjak batasan-batasan profesi sudah tidak relevan dalam perjuangan melawan kapitalisme, dan semenjak kapitalisme senantiasa mengubah diri untuk melemahkan keterhubungan antara pekerja dengan komunitas lebih luas, maka mendorong keterlibatan masyarakat dalam perjuangan sangatlah mendasar.
Menghubungkan dengan komunitas masyarakat yang lebih luas disini bukanlah sekedar untuk memperbesar tekanan dan meradikalisasi situasi sosial, atau mendikte sektor-sektor lain. Melainkan juga untuk lebih memahami bahwa dalam masyarakat, kapitalisme berdiri tidak hanya dari kerja-kerja pekerja yang diupah, melainkan juga oleh pekerja yang tidak diupah, seperti ibu rumah tangga dan mahasiswa.
Keterhubungan aksi pemogokan di tempat kerja dengan masyarakat yang lebih luas juga untuk meretas kemungkinan-kemungkinan baru dalam gerakan penghapusan kapitalisme, yang dapat menopang strategi yang lebih menohok, seperti pengambil-alihan tempat kerja (swakelola) di bawah kontrol pekerja, atau pembangunan komune-komune.
5. Mengembangkan Ragam Metode dan Perlawanan Harian
Kaum pekerja tidak boleh bersandar pada momen-momen tertentu. Betapapun heroik dan kuatnya, mogok massal tidaklah cukup karena hanya bisa terjadi dalam momen-momen tertentu saat situasi dan kesadaran revolusioner cukup terbangun.
Pekerja harus menjadikan dirinya sebagai negasi, musuh paripurna dari kapital, dengan terus mengembangkan perjuangan sehari-hari tanpa bergantung dengan momen maupun organisasi formal. Perjuangan yang dapat diemban setiap pekerja secara mandiri.
Pekerja dapat mengembangkan metode-metode aksi langsung berupa sabotase, mangkir dari kerja, berlambat-lambat kerja yang bertujuan menurunkan produktifitas dan profit kapitalis, serta bentuk-bentuk lain yang memposisikan pekerja berhadap-hadapan dengan majikan dan bos untuk mengacaukan struktur penghisapan dan penindasan.
Dengan mengembangkan metode-metode langsung dalam perlawanan harian, akan membantu pekerja membangun kesadarannya dan untuk memahami posisinya sebagai aktor yang memiliki kemampuan membebaskan diri.
6. Tentang Penghapusan Kerja
Pekerja tidak bisa terlena dengan kenyamanan ala borjuis yang bisa dimenangkannya, seperti jaminan hidup, kebebasan berserikat, atau kursi parlemen. Tuntutan-tuntutan umum kaum pekerja seperti kenaikan upah, penghapusan outsourcing, hak berserikat, dan jaminan masa depan memang mendesak. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa menggadaikan visi revolusioner dalam gerakan pekerja –yang cenderung memuja-muja kerja.
Di bawah kapitalisme, kerja menjadi instrumen dasar penghisapan, alienasi dan kemerosotan kualitas hidup secara sosial. Kapitalisme merubah “aktifitas mendasar dari eksistensi manusia” ini menjadi kerja-upahan.
Pemogokan nasional mestilah menjadi momen untuk membangun visi anti-kerja dalam gerakan. Visi ini harus mulai didiskusikan, ditelaah, dan dikritisi untuk menemukan bentuk-bentuk terbaik dalam prakteknya. Dan gerakan yang terbangun mesti memasukkan kerja sebagai agenda yang mesti dihapuskan dalam tatanan pengganti. Sebuah dunia tanpa kerja-upahan!
dimuat dalam Serum #4 – Edisi Oktober 2012
Tagged buruh, mogok nasional, pekerja, strategi-taktik