Kontinum.org – Jurnal Antiotoritarian Online

Teks

Mengapa Warga Miskin Melawan Dengan Kekerasan?

September 19, 2012 by Burhan May Lee in Artikel with 0 Comments

oleh : Burhan May Lee

 

Potongan adegan yang kental dengan lakon kobaran api, lemparan batu dan konfrontasi fisik seringkali menjadi headline di berbagai media massa. Ya, media massa selalu menyiarkan hal-hal bombastis, karena memang pada dasarnya audiens (pemirsa, pembaca dan pendengar) cenderung suka dan penasaran akan peristiwa yang diluar kewajaran.

Peristiwa-peristiwa tersebut, bila mengacu pada nilai normatif yang dianut masyarakat dan tatanan sosial yang eksis saat ini, dikategorikan ke dalam ‘tindak kekerasan’ yang melewati batas nilai dan sistem hukum. Tidak sedikit kecaman yang dilancarkan banyak pihak terhadap misalnya aksi-aksi kaum miskin perkotaan dalam mempertahankan tempat tinggal atau mata pencaharian. Aksi-aksi melawan serbuan aparat yang hendak melakukan eksekusi tersebut diwarnai tindak seperti pelemparan batu, bom molotov dan benda keras lain.

Dalam tinjauan filosofis tentang hal-hal di luar kewajaran, Francis Budi Hardiman (2005) misalnya menyebut tindak kekerasan yang dilakukan warga miskin kota ini sebagai ‘kekerasan massa atau kekerasan kolektif’. Menurutnya, kekerasan kolektif sering meletus dalam sejarah umat manusia. Dari pemberontakan budak di zaman Romawi kuno, perlawanan para petani di Jerman pada akhir abad pertengahan hingga revolusi-revolusi besar di zaman modern, adalah peristiwa-peristiwa kekerasan kolektif yang dicatat dalam sejarah dunia.

Dalam sejarah Indonesia, kekerasan kolektif dapat dilihat dalam peristiwa pembantaian massal terhadap anggota, para simpatisan dan yang dituduh PKI tahun 1965-67, peristiwa Tanjung Priok dan atau pembunuhan massal di Dili. Kerusuhan pada tanggal 13-15 Mei 1998 di Jakarta yang mengawali jatuhnya Soeharto juga merupakan tindakan kekerasan kolektif yang kemudian mengambil beberapa korban jiwa.

Masyarakat yang pada dasarnya diatur dan dibatasi perilaku dan tindakannya oleh norma, nilai dan sistem hukum yang berlaku, serta ketatnya negara menggunakan apparatus jenis ini dalam mengontrol, dalam kondisi normal seharusnya tidak melakukan tindak kekerasan, mengingat.

Fenomena ini jelas perlu mendapat argumentasi yang  jernih dan historis.

Ahli kejiwaan Limas Sutanto, menuturkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh (khususnya) masyarakat merupakan hasil akumulasi historis dari kehidupan masyarakat di negeri yang disebutnya sebagai ‘hidup yang tak menghargai kehidupan’ . [1]

Dalam tataran lebih dalam atau pada tataran khazanah nirsadar kolektif, masyarakat sebenarnya punya banyak pengalaman kuno atau dalam istilah bahasa psikoterapi disebut archeid. Pengalaman kuno adalah hidup yang tak menghargai nyawa manusia, kurang melindungi martabat atau melindungi kehidupan. Intinya, tidak menghargai kehidupan.

Pengalaman masyarakat di Nusantara di bawah kendali kerajaan-kerajaan diwarnai tindakan kekerasan untuk menjamin ketertundukan dominan berbau feodal bahkan absolut. Perang antar kerajaan, hukum yang dikeluarkan oleh pemegang otoritas dipergunakan untuk menakut-nakuti warganya agar tetap tunduk sebagai hamba kerajaan, tetap mengolah tanah dan memberi upeti pada raja. Perang sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Banyak sekali pembunuhan, banyak sekali perendahan kehidupan sosial manusia yang terjadi dalam proses sejarah.

Rentangan kekerasan tersebut terus berlanjut hingga penjajah kolonial datang ke nusantara. Tindak kekerasan ini menyertai kehidupan masyarakat dan berlangsung hingga berates tahun, sebuah waktu yang cukup lama untuk menanamkan trauma kekerasan kepada orang-orang kelas bawah.

Tindak kekerasan ‘golongan atas’ yang memiliki kuasa akan sumber kehidupan, alat paksa fisik (berupa militer, polisi) maupun alat paksa halus lewat hegemoni dan penyebaran kebohongan, tentunya mendapat reaksi dari ‘golongan bawah’ dan tak jarang (kembali) berupa  tindak kekerasan kolektif demi menghadirkan tatanan  baru yang lebih adil. Perjuangan melawan kolonial Belanda adalah perjuangan massa dengan konfrontasi fisik yang tak lain adalah bentuk dan tindakan kekerasan. Hampir seluruh ‘golongan bawah’ mengamini tindak kekerasan saat itu. Mengapa? Karena hampir seluruhnya menganggap tatanan yang ada, sama sekali tidak memberikan apa-apa selain penderitaan. Karenanya harus dilawan secara frontal.

Pengalaman historis yang penuh kekerasan tersebut kemudian secara biologis dan genetis terbawa ke kehidupan generasi hari ini. Seperti yang diungkapkan Limas Sutanto bahwa orang tua yang melakukan (kekerasan) bunuh diri akan melahirkan anak yang menyukai (kekerasan) bunuh diri. Faktor genetika ikut berperan dalam melahirkan pengaruh kimiawi otak atau ikut memberikan andil dalam depresi dan keterdesakan.

Tindak kekerasan dalam perlawanan warga miskin perkotaan misalnya, merupakan aksi kolektif  yang dilatarbelakangi kesadaran akan kesamaan kelas. Hal tersebut bukanlah fenomena massa sebagai ledakan emosi atau pelampiasan naluri-naluri biadab, karena aksi massa yang radikal tersulut dari konflik kepentingan kelas-kelas atau dari ketimpangan strukural.

Dalam banyak kejadian serupa, para pelaku kekerasan tidak bertindak melulu lantaran emosi, melainkan ‘strategis’: yakni mengikuti kepentingan-kepentingan kelas mereka yang bersifat obyektif. Rakyat miskin perkotaan pada umumnya dalam kondisi tertekan, akan menemukan dirinya dan kelompoknya sebagai bagian dari golongan bawah yang sedang ditindas. Kelompok yang terancam kehidupannya oleh pengusaha kaya.

Resistensi dalam bentuk konfrontasi fisik untuk mempertahankan diri, berwujud dengan kekerasan, seperti yang dilakukan orang-orang terdahulu, di masa kerajaan, kolonialisme, yang menginginkan kehidupan yang lebih adil, sehingga ditempuh dengan perang dan darah.

Namun kita harus melampaui determinisme, bahwa aksi-aksi kekerasan kolektif hanya dilandasi oleh aspek ekonomi semata dan mereduksi aspek lain seperti proses-proses komunikasi dan relasi sosial, peran negara, organisasi dan mobilisasi. Kenyataannya, kita bisa menemukan bahwa aksi-aksi tersebut ditempuh karana ada hal secara sosial kultural dan psikis yang muncul. Misalnya di atas tanah yang terancam dirampas penguasaha atau negara tersebut telah terbentuk tatanan unik dan memiliki pola interaksi dan komunikasi yang berbeda, yang kemudian memupuk solidaritas sesama, dan terancam hilang jika terpaksa harus pindah atau berpisah dengan warga lainnya yang telah puluhan tahun menjadi ‘kerabat dekat’, satu sama lain.

Banyak contoh yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan perlawanan dengan kekerasan adalah akumulasi tekanan hidup yang sama sekali tidak dipandang sebagai ‘hidup’, karena kuatnya intervensi negara terhadap gerak individu dan massifnya eksploitasi terhadap manusia dan alam dalam kapitalisme. Persoalan ekonomi (pemenuhan kebutuhan), kepentingan kelas akan faktor produksi, bukanlah hal satu-satunya yang menjadi alasan mereka memberontak, membakar atau melawan polisi, melainkan karena tatanan hari ini sama sekali tidak lagi menghiraukan hidup.

Sebagai ekspresi perlawanan dan pemberontakan, tidak mengherankan bila aksi-aksi protes akhir-akhir ini marak dengan tindak perusakan properti dan simbol-simbol kekuasaan. Hal ini umumnya dilakukan untuk mengekspresikan kebosanan serta rasa muak yang tak tertahankan akan kondisi hari ini. Kondisi dimana kapitalisme terus menghisap sumberdaya bumi dan mengeksploitasi manusia sampai ke tingkat yang tak masuk akal. Mengenai hal ini, eksponen primitivis John Zerzan mengatakan bahwa “… perusakan properti bukanlah tindak kekerasan. Duduk di depan televisi, mengkonsumsi candu, menonton TV, mendapatkan pekerjaan dan melupakan segalanya adalah kekerasan yang sesungguhnya…”.

Pada masyarakat dengan tensi konsumsi yang tinggi, kebosanan seringkali melanda dan usaha untuk mengusir kebosanan pun seringkali tak berhasil dilakukan oleh kapitalisme dan negara.  Perusakan property dan aksi-aksi kekerasan harus dilihat sebagai usaha awal dalam menghadirkan tatanan hidup yang bebas, setara dan lebih adil terhadap alam.

“Kami berusaha mendorong untuk sekedar mempertanyakan, mengapa orang-orang pergi keluar dan berusaha melancarkan protes atau melakukan sesuatu? Hadir semakin banyak tanda-tanda di manapun bahwa kehidupan konsumtif bukanlah sebuah hidup yang memuaskan”, ungkap Zerzan.

Tentu saja masyarakat dan media massa bereaksi dengan melontarkan hujatan, makian dan kemarahannya terhadap aksi-aksi pengrusakan tersebut. Namun hujatan dan kecaman yang muncul sekali lagi hanya berlandaskan pada pandangan normatif yakni mengambil referensi dari nilai, norma, dan hukum yang mengatur masyarakat hari ini dan bukannya pada pengkajian lebih dalam tentang akar masalah dan mengapa hal ini biasa terjadi.

Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta misalnya, tidak terjadi dalam ruang hampa melainkan berakar dalam kompleksitas sosial masyarakat. “Massa terjadi hanya dalam konstelasi-konstelasi sosial tertentu; dia tidak terbentuk secara kebetulan, bukan hasil upaya-upaya manipulatif sembarangan. Terbentuknya massa mengandaikan ketegangan-ketegangan di dalam masyarakat atau di antara masyarakat-masyarakat.” (Pross, Helge, et al, 1984) Kondisi-kondisi ketegangan sosial ini dapat dikategorikan ke dalam dua tema besar: pembangunan dan ketimpangan strukural.

Ketimpangan strukural yang dimaksud adalah adanya strukur yang berlaku dalam masyarakat, dimana ada golongan yang berkuasa penuh terhadap golongan lainnya. Master and Slave adalah penjelasan lugas tentang hubungan strukural antara negara dan modal dengan individu-individu dalam masyarakat. Struktur ini menyebabkan ketidakpuasan pada golongan yang diperintah dalam bentuk yang oleh Simmel (2001) dari sisi psikologi sosial disebut sebagai ‘kerinduan akan kesamaan’. Pandangan ini menyanggah teropong kekerasan kolektif yang memandangnya hanya dari sisi sosiologis semata, yakni bahwa kondisi objektif aksi-aksi kolektif dalam masyarakat kita adalah buah dari kakunya institusi-institusi dan resistensi mereka terhadap perubahan-perubahan.

Resistensi masyarakat urban tidak dapat dilihat hanya dengan satu kacamata analisa saja. Setiap elemen penyebab aksi kekerasan kolektif ini saling berkaitan, mempengaruhi dan mendukung satu sama lain yang kemudian bermuara pada kekerasan yang dianggap melanggar norma dan hukum yang berlaku.

Lemparan batu, pembakaran, sabotase, pengerusakan properti dan berbagai tindakan yang dikategorikan ‘tindak kekerasan’ adalah hasil akhir (final result) dari ketidakpuasan akan kondisi yang timpang dalam berbagai aspek. Orang-orang yang bertindak keras, semata menginginkan transformasi demi hidup yang lebih baik. Menghakimi tindak kekerasan kolektif sebagai negative behaviour merupakan hal lumrah, karena pandangan tersebut berasal dari norma, sistem nilai dan hukum normatif yang ada saat ini. Dan mesti diingat bahwa semua itu juga ikut menopang kondisi hari ini bersama dengan segala ketimpangannya.

Penghakiman yang ahistoris, moralis dan tendensius adalah tindakan konyol reaksioner tanpa pendalaman dan pendekatan terhadap afeksi-afeksi dari peristiwa tersebut. Semoga hal ini bukanlah masalah bagi warga kota, yang ingin merebut kehidupan yang patut untuk dijalani. Dengan melihatnya makin dekat dan jernih, lebih membuat kita bisa memahami mengapa hal ini bisa terjadi.

Panjang umur semua perlawanan warga di jalan-jalan kota!

 

* dimuat sebelumnya di Jurnal Kontinum #5 – Maret 2012 

Tagged kekerasan, perlawanan, ,

Related Posts

Flash News
Terbitan Terbaru !
Serum #5 - Cover

Serum #5 - Mei 2013