Redaksioner
Imajinasi Kolektif dalam Gerakan Anti-Korupsi
Aksi Saweran Gedung KPK terus menggelinding. Situasi ini dapat dipahami dalam beberapa hal. Yaitu bahwa ada banyak orang yang gelisah dan muak terhadap berbagai problem sosial yang mengemuka seperti korupsi dan ketidakadilan sosial.
Orang-orang ini pada dasarnya ingin terlibat dalam upaya-upaya perubahan yang diinginkan. Namun karena berdasarkan tipologinya serta lingkungan yang membentuknya, seperti media massa dan budaya populer, mereka ingin berpartisipasi secara mudah, longgar, populis, dan minim resiko. Inilah mengapa gerakan-gerakan seperti koin keprihatinan dalam kasus Prita Mulyasari, atau keterlibatan dalam grup media sosial seperti Sejuta Pengguna Facebook Mendukung Bibit-Chandra (Cicak vs Buaya), kampanye-kampanye go green, hingga saweran gedung KPK, selalu marak.
Apa yang hendak ditekankan disini bukanlah bahwa gerakan-gerakan tersebut tidak berguna sama sekali, atau upaya-upaya memberantas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sebagai sesuatu yang sia-sia. Juga untuk tidak terjebak dalam logika kapital yang dalam situasi tertentu pula menghendaki pemerintahan bersih (good governance) untuk menghindari ‘ekonomi biaya tinggi’, maka kita semestinya awas dengan gejala-gejala di permukaan.
Disini problemnya adalah imajinasi sosial secara kolektif yang terpasung dan berusaha untuk dimapankan, ditandai dengan absennya agenda penghapusan birokrasi dalam tatanan sosial.
Untuk memeriksa dan melampaui keterbatasan aksi-aksi populis tersebut, kita harus melihatnya dalam kerangka perjuangan sosial yang lebih luas. Dalam kata lain, melalui gemuruh aksi-aksi seperti ini justru memperlihatkan potensi bahwa masyarakat secara umum pada dasarnya mampu dan memiliki kekuatan yang besar untuk memperjuangkan kepentingannya. Dalam bentuk yang berbeda misalnya, protes sosial kenaikan harga bahan bakar beberapa waktu lalu telah mengkontribusikan pengalaman historis yang penting.
Akan tetapi, hal tersebut tidak akan memadai karena di saat bersamaan, reaksi dan aksi-aksi model ini juga mengekspos kemiskinan visinya.
Strategi yang menjadi arus utama gerakan anti-korupsi adalah memperkuat sebuah lembaga atau institusi negara yang memiliki wewenang kuat. Di Indonesia, mengadopsi pengalaman Hong Kong dan Singapura misalnya, KPK dibentuk dengan tujuan memperkuat institusi formal untuk memberangus tindakan korup dan menghukum para koruptor.
Disinilah gagapnya. Korupsi bukanlah masalah moral individual belaka atau sekedar error dalam sebuah sistem birokrasi pemerintahan. Korupsi dan ketidakadilan adalah konsekuensi dari tersentralnya kekuasaan dan kewenangan pada segelintir orang saja. Ia muncul karena kekuasaan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu saja, lantas menjadi gagasan yang mapan sebagai ideologi yang menjelaskan bahwa masyarakat butuh seperangkat alat untuk mengatur yang orang lain, butuh para spesialis untuk mengelola kerja-kerja orang lain. Ideologi yang percaya bahwa masyarakat tidak akan bisa mengelola kehidupannya sendiri.
Birokrasi akan selalu korup, semenjak hal tersebut adalah manifestasi dari pemisahan sosial dalam masyarakat. Fungsinya adalah memastikan dan mengamankan aturan sebuah tatanan, dimana hal ini tidak diragukan lagi berhubungan erat dengan relasi produksi. Untuk menjamin berfungsinya birokrasi, ia harus disokong dengan pemaksaan terhadap masyarakat umum.
Dalam hal ini, birokrasi itu sendiri adalah masalahnya. Hal ini selanjutnya berkelindan dengan pengkerdilan makna korupsi yang terbatas hanya pada aspek anggaran dan kekuasaan normatif saja.
Dengan tidak adanya kebutuhan untuk melikuidasi birokrasi, ini menunjukkan betapa gerakan tersebut sangatlah tidak menjanjikan.
Sebagai konsekuensi dari masyarakat berkelas, yang membutuhkan kontrol dan strata sosial tersendiri untuk memastikan penghisapan dan penindasan terus berlangsung, maka menyehatkan birokrasi sendiri tidak akan memberikan apa-apa secara mendasar. Dalam pencapaian maksimumnya, ia hanya menggiring pada orientasi dominan para pengusungnya : negara-kesejahteraan (welfare state).
Pada akhirnya, ketika orang-orang memiliki potensi untuk bertindak secara mandiri, aksi-aksi ini justru menggiring untuk lebih bergantung pada birokrasi dan negara, dan pada akhirnya mengamputasi potensi dan kemampuan sosial.
Kita tidak bisa menghancurkan sebuah tatanan masyarakat lama dengan menggunakan organ-organ yang hadir untuk melayani masyarakat tersebut. Mereka yang hendak membebaskan dirinya, mestilah menciptakan wadahnya sendiri. Dan menggalang dukungan untuk memperkuat negara bukanlah hal yang relevan.
Sejak korupsi merupakan hal inheren dari birokrasi, maka penguatan negara untuk memberantas korupsi justru menjadi tidak relevan dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
Dan semenjak birokrasi merupakan sebuah badan khusus dalam masyarakat yang berfungsi untuk melayani struktur mapan masyarakat berkelas, maka penghapusannya hanya dimungkinkan melalui penghapusan kelas dan struktur sosial yang melingkupinya.
Ini berarti perjuangan sosial harus melampaui imajinasi standar mengenai bentuk-bentuk tatanan sosial yang memungkinkan diretas. Termasuk juga harus melampaui batasan-batasan yang seringkali justru diciptakan oleh aktivis itu sendiri –yang kerap bermutasi menjadi birokrat gerakan.
Sebagai kesimpulan awal, ketimbang menata masyarakat kapitalis menjadi tampak lebih transparan dan bersih, perjuangan kita justru mesti fokus dengan upaya penciptaan relasi sosial yang benar-benar baru. Yaitu relasi sosial non-profit, tanpa relasi jual-beli, egaliter, dan menghapuskan aparatus negara itu sendiri.
Benar bahwa hal tersebut tidak semudah menyeka peluh di badan. Akan tetapi, gerakan yang hanya bercita-cita mengenai negara-kesejahteraan, hanyalah membantu kapitalisme berdiri semakin kokoh.
Untuk itu, mereka yang menginginkan perubahan mendasar, mesti mengambil bentuk-bentuk tindakan secara langsung yang tidak dimediasi oleh struktur korup baik dari kapital maupun negara. Inilah aspek penting dalam memobilisasi sumberdaya kolektif tanpa bergantung pada struktur kapital dan negara, termasuk birokrasi –sebersih apapun formasi orang-orang yang mengisinya.
Dengan mempertimbangkan kekuatan sosial secara kolektif, pergerakan untuk menciptakan masyarakat yang tidak korup semestinya harus melawan apa yang menciptakannya : kekuasaan tersentral!
Tagged aksi langsung, kehidupan harian, korupsi, perjuangan kelas, strategi-taktik
Fadli HermanJul 11, 2012 at 4:03 am
Great!
ostafalmustafaJul 29, 2012 at 3:42 am
Korupsi akan tetap menguat, ketika hukuman berat masih berbentuk imajinasi di luar pengadilan