Teks
Ambisi Mereka (Adalah) Mengubur Hidup Kita
Menuju Kota Dunia #2
Ambisi Mereka (Adalah) Mengubur Hidup Kita
Oleh : Alisa Dita Manimpian & Ishmael Yahalah
Di bagian sebelumnya [1] kami telah menunjukkan bagaimana konsep dan gagasan tentang penataan sebuah kota, menyerap ongkos yang sungguh luar biasa baik secara sosial dan ekonomi. Ongkos yang sangat besar untuk mewujudkan sebuah gagasan rekayasa kota tersebut sesungguhnya menyimpan dua kontradiksi.
Pertama, pembiayaan berasal dari uang publik, yakni kesejahteraan yang diendapkan melalui pajak, pungutan, dan rampasan nilai-lebih (revenue) kerja-kerja para pekerja. Selain itu pembiayaan juga bersumber dari hutang publik (public debt), tentu saja melalui eufimisme vulgar : investasi, yang diberlakukan atas nama publik, sesuatu yang berguna untuk mengontrol dinamika sosial.[2] Kedua, ongkos raksasa yang bisa membiayai banyak kepentingan umum (tentu saja dalam situasi kapitalis seperti sekarang), sesungguhnya justru untuk menyerang balik kehidupan kita.
Di bagian kedua ini kami akan mengekspos bagaimana hal-hal tersebut tidaklah seindah visualisasi maket dan desain.
Apa yang mereka sebut Kota Dunia ?
Sebagai propaganda politis, kampanye tentang ‘Kota Dunia’ terus menerus dan berulangkali dijejalkan masuk dalam keseharian kita. Ia gempita dalam berita media, semarak di banner-banner jalanan, dan membahana hingga diskusi-diskusi standar di berbagai tempat. Dalam ragam bentuknya tersebut, semuanya memiliki satu persamaan bahwa kota dunia yang dimaksud adalah kota yang modern, megah dan futuristik.
Akan tetapi tidak sekedar menancapkan gedung tinggi menjulang di berbagai titik di seluruh kota dan persoalan fisik lainnya, konsep kota modern yang menjadi ambisi para borjuis, birokrat, dan intelektual agensi perekayasa kota [3] adalah rancangan yang kompleks sekaligus simpel. Yakni bagaimana menciptakan kota bebas hambatan, yaitu bebas hambatan dalam perkembangan kapital, dalam mengembangkan mekanisme kontrol modern atas populasi, dan pengebirian imajinasi masyarakat mengenai kehidupan harian.
Konsep tentang ‘kota dunia’ atau pun kota global dipopulerkan oleh sosiolog Amerika, Saskia Sassen (1991), untuk mendefinisikan kota yang menjadi titik penting sistem ekonomi global.[4] Definisi ini identik dengan gambaran kota-kota seperti New York, London, atau Tokyo yang nampak similar, memiliki keterikatan dan saling mempengaruhi dalam membentuk hubungan global. Studi Sassen dalam bidang geografi dan urban pada tiga kota tersebut menunjukkan persamaan fungsi, kecenderungan, karakter dan dinamikanya masing-masing. Di kota-kota itulah sejumlah bisnis global dikendalikan, juga menjadi tempat dimana kantor-kantor pusat perusahaan multinasional berkedudukan. Kota-kota tersebut adalah pusat jalur penerbangan dan pelayaran internasional, serta menjadi sentrum pasar komoditas dan keuangan global. New York, London dan Tokyo, singkatnya, menjadi sentrum pertumbuhan ekonomi dunia.
Ini kemudian didiskusikan lebih luas di kalangan perekayasa urban. Markusen (1999) menyatakan bahwa ‘kota dunia’ sesungguhnya adalah konsep yang kabur. Namun ‘kritisisme’ seperti itu pada akhirnya lebih banyak mendorong pendiskusian definisi, karakteristik, dan ciri-ciri, pada esensi yang sama. Misalnya karakteristik internal dari kota-kota dunia ditampakkan sebagai kantor-kantor pusat korporasi trans-nasional (Hymer, 1972), institusi keuangan dan perbankan (Reed, 1981), produsen industri jasa (Sassen, 1991), tontonan global (Short, Kim, Kuus, & Wells, 1996), atau pun gabungan dari beberapa variable tersebut (Friedmann, 1995; Knox & Agnew, 1994)
Dari sini kita sudah bisa melihat bahwa poin utama yang diekspos oleh Sassen dan pendukungnya sesungguhnya adalah signifikansi sebuah kota dalam ekonomi kapital dan relasi sosial modern. Karena proyeksi gagasan tersebut berpusat pada kapital, ditandai dengan karakteristik internal dan eksternalnya, tidak diragukan lagi bahwa keseluruhan gagasan tersebut berorientasi untuk memapankan kapitalisme dengan segala kompleksitasnya.
Sesuai dengan kebiasaan dan mental ‘intelektual tukang’ yang umum berlaku, konsepsi ini kemudian diserap oleh agensi perekayasa kota, para spesialis yang disewa oleh birokrat lokal untuk membuat desain domestikasi modern terhadap lingkungan dan masyarakat urban, yang disebut tata kota. Danny Pomanto, seseorang kepala tukang yang berperan penting di balik proyek ambisius menduniakan Kota Makassar, pula selanggam seturut dengan cara pikir tersebut. “Kota dunia adalah kota dengan pergaulan kelas dunia. Tidak perlu besar yang penting bisa masuk dalam pergaulan dunia,” pungkas Danny mencontohkan kota Curtiba di Brazil.
Apa yang dikatakan Danny sesungguhnya adalah ekspresi borjuasi yakni pengintegrasian kota dalam ekonomi kapital global. Menjadikan kota ini menjadi ceruk yang optimum melayani lalu lintas kapital dengan populasi manusia yang permisif dengan perubahan-perubahan yang bisa merusak kehidupan mereka sendiri. Proyek Kota Dunia merupakan sebuah aransemen ruang dan waktu, entitas dan identitas, fisik dan spiritual, yang secara internal bertujuan memapankan ekonomi kapital; dan secara eksternalnya mendukung kelancaran dan pergerakan kapital.
Secara sederhana, kota-kota direkayasa agar lebih produktif dalam penciptaan komoditi (barang dan jasa) sekaligus distributif dalam sirkulasi kapital. Ekspresinya bisa dilihat dalam perluasan volume jalan raya, pengembangan infrastruktur transportasi nasional dan internasional seperti pelabuhan dan bandar udara, penciptaan pusat-pusat ekonomi primer hingga tersier. Sementara lingkungan sosialnya diproyeksikan untuk menundukkan dan mendomestikasi manusia-manusia yang berdiam di dalamnya. Semakin banyak gedung, tempat-tempat, aktifitas dan infrastruktur yang dibangun, berarti semakin banyak pula kontrol dan aturan yang muncul dan diberlakukan. Sebuah ruang yang tidak lagi bebas akan selalu memunculkan kontrol dan aturan yang eksis bersamaan semenjak ruang tersebut dinyatakan sebagai properti privat.
Simultan dengan pembentukan layout-nya, kota juga disulap sebagai preservasi industri MICE (meeting, invention, convention and event), dan area turisme, sesuatu yang sesungguhnya tidak lebih sebagai ‘sirkulasi manusia ke berbagai tempat untuk mengkonsumsi’, atau produk sampingan dari sirkulasi komoditi.
Arsitektur-arsitektur Kebohongan
Bila memeriksa jarak antara ideal-ideal yang dijual dalam konsep Kota Dunia, dengan kenyataan yang berkembang, nampaklah sebuah bolong sekaligus bohong besar dalam ide-ide ini. Untuk memeriksa itu, mari kita kembali ke gagasan awal mengenai ideal sebuah kota dunia, lalu kita bandingkan dengan kondisi hidup mayoritas masyarakat yang hidup dan bernafas di kota ini.
Sassen merujuk bahwa di ketiga tempat yang dikemukakannya tersebut, berlangsung percepatan, dinamika dan perkembangan ekonomi global. Kota berfungsi sebagai tempat yang memfasilitasi, mendesiminasi sekaligus memaksimalisasi arus perputaran kapital secara global. Dengan kata lain, ekonomi di kota-kota tersebut memiliki performa yang tajam, dinamis dan prospektif. Asumsinya, dengan perputaran kapitalnya yang besar dan lancar tersebut mestinya mampu mengangkat kualitas hidup penduduknya.
Tapi kini, 20 tahun setelah konsepnya dikenal, apa yang terjadi di tiga kota tersebut?
Kajian terkini Employment Conditions Abroad International (2011), melaporkan bahwa Tokyo adalah kota termahal di dunia.[5] Kota itu bersama kota-kota lain di Jepang juga menjadi salah satu tempat di dunia dimana tingkat bunuh diri sangatlah tinggi. Di New York, kemiskinan yang mencapai 20,1 %, tertinggi dalam 10 tahun terakhir.[6] New York juga menempati posisi teratas kota termahal di Amerika Serikat.[7] Hal-hal tersebut, diperkuat oleh keserakahan kaum pebisnis dalam sentra ekonomi Wall Street juga telah memicu Occupy Wall Street, protes sosial besar-besaran yang menyebar ke seluruh dunia.
Di London, protes besar-besaran (yang terbesar semenjak mobilisasi anti perang Iraq) meletus di pusat-pusat kota pada Maret dan April 2011 lalu. Protes yang berubah jadi kerusuhan tersebut dipicu prahara keuangan yang menerpa London dan Inggris secara keseluruhan, bertujuan menyerang keputusan-keputusan pemerintah untuk memotong subsidi sosial sebagai langkah penghematan (austerity cut) Perdana Menteri David Cameron. Setelah itu, di bulan Agustus 2011, sebuah kerusuhan besar-besaran menyapu London dan beberapa kota lainnya di Inggris yang dipicu tertembaknya seorang warga bernama Mark Duggan, oleh aparat kepolisian. Dalam peristiwa itu, banyak yang meyakini bahwa pengangguran dan kemiskinan adalah salah satu penyebab yang mendukung terjadinya rusuh dan penjarahan dimana-mana.
Apa artinya? Standar hidup di kota-kota tersebut kian meningkat (mahal) dibandingkan dengan kemampuan rata-rata masyarakat untuk mengakses kebutuhannya. Sehingga ini tentu saja mempengaruhi kualitas hidup rata-rata masyarakat, yang harus bekerja lebih keras demi memenuhi kebutuhan yang kian menjulang. Semakin menganganya jurang ekonomi secara sosial di ‘kota-kota contoh’ tersebut pada akhirnya mendorong reaksi dari mayoritas populasi kota.
Apa yang bisa ditarik menjadi pelajaran dari ‘kota-kota contoh’ kelas dunia itu adalah pada akhirnya pembangunan dan rekonstruksi kota yang bertujuan memaksimalkan akumulasi profit dari berbagai aspek itu harus mengorbankan mayoritas penduduk kota. Reaksi-reaksi yang muncul seperti protes, kerusuhan, penjarahan adalah reaksi untuk melawan domestikasi dan eksploitasi. Bahkan aksi-aksi bunuh diri di berbagai juga mesti dilihat sebagai ekses ketidakberesan sebuah kota.
Apa yang menjadi kesimpulan adalah bahwa sebuah kota dunia hanya dipersiapkan, diorientasikan dan diperuntukkan bukan kepada populasi kota, apalagi yang miskin. Infrastruktur, kultur, dan aturan-aturan formal hingga modal sosial, semuanya diorientasikan dan dimobilisasi untuk memapankan kapital sebagai basis dari sistem dan relasi sosial. Dengan begitu, maka siapapun yang paham bagaimana kapital bekerja juga dengan sendirinya akan paham bagaimana ekspresi yang akan hadir dalam wajah Kota Dunia tidak lain hanyalah penyerangan terhadap kehidupan masyarakat secara umum, dan khususnya proletariat urban.
Karena ambisi menduniakan sebuah kota adalah sebuah serangan politis dan vulgar, maka warga kota hanya bisa menghentikannya dengan mengambil alih kontrol dan pengelolaan kota untuk kepentingannya sendiri melalui dewan warga, komune urban atau bentuk-bentuk lain yang revolusioner, sembari membangun keterhubungan yang lebih mutual dengan daerah-daerah sekitarnya.
Hanya pilihan-pilihan tersebutlah yang tersisa jika kita tidak hendak melihat kehidupan kita terkubur oleh ambisi mereka.
Dimuat dalam Jurnal Kontinum #05 – Maret 2012
————–
[1] Menuju Kota Dunia #1 Introduksi terhadap Peradaban dalam Serum #2
[2] Lihat Werner Bonefeld ‘The Politics of Debt: Social Discipline and Control’ (1995) dalam Jurnal Common Sense #17, halaman 69-91
[3]Tidak salah lagi bahwa ‘urban planning’ dan berbagai konsep teknis yang terkait adalah metode kapitalisme untuk mengambil alih alam dan lingkungan manusia.
[4] Sassen, Saskia. World City. 1991.
[5] http://www.eca-international.com/news/press_releases/7355/
http://articles.nydailynews.com/2011-09-23/local/30210015_1_poverty-rate-poverty-formula-poverty-threshold
[7] http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=338773&pop=1&page=0
Tagged kehidupan harian, kota dunia, urban