Kontinum.org – Jurnal Antiotoritarian Online

Teks

Penegasan Represi Negara dalam UU PKS

June 6, 2012 by Burhan May Lee in Analisa, Artikel with 1 Comment

Berangkat dari pengalaman dalam penanganan konflik sosial yang dianggap tidak berjalan dengan maksimal, pada 11 April 2012 silam DPR RI mensahkan RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS) menjadi undang-undang untuk memperbaiki hal tersebut. Selama ini, pemerintah dalam menangani konflik sosial mengacu pada beberapa peraturan yang ada. Namun hal ini dipandang menyulitkan pemadaman konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Selain itu pemerintah membutuhkan satu acuan hukum yang spesik mengatur hal ini. Konflik yang kental dengan isu SARA seperti konfilik Ambon dan Poso, dalam penanganannya dinilai lamban dan tidak maksimal dikarenakan pemerintah kesulitan untuk merumuskan langkah yang tepat karena tidak adanya aturan yang jelas mengatur tentang konflik sosial. Tetapi benarkah alasan utama pembuatan undang-undang ini hanya semata untuk menghadirkan perdamaian dan mencegah konflik? Atau ada hal lain yang lebih esensial dan strategis yang mesti segera diatur untuk kepentingan tertentu?

Konflik Agraria dalam UU PKS

Dalam pasal 1 UU PKS dijelaskan bahwa konflik sosial adalah “benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan/atau jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, berdampak luas, dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat”. Defenisi ini jelas sangat luas dan bisa ditafsirkan dengan berbagai pandangan tentang konflik sosial itu sendiri. Hal ini memberikan peluang yang sangat besar bagi pemerintah untuk melakukan penindakan terhadap semua “kekacauan sosial” termasuk di dalamnya konflik agraria yang merupakan konflik horizontal dengan jumlah yang tinggi terjadi di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agriaria mencatat bahwa sepanjang tahun 2011, terjadi 163 konflik agraria dengan jumlah rakyat atau petani yang menjadi korban tewas mencapai 22 orang dan korban luka tembak terdata lebih dari 120 orang yang melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektare.

Secara tersurat, undang-undang ini mengatur penanganan konflik mulai dari pencegahan, penanganan dan pemulihan di lokasi yang masyarakatnya tengah berkonflik, dengan kewenangan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengerahkan Tentara Nasional (TNI). Hal ini berkaitan nantinya dengan penanganan konflik agraria yang seringkali melibatkan warga (petani dan nelayan) dengan perusahaan atau korporasi. Di tengah konflik seperti ini korporasi selalu menginginkan penyelesaian permasalahan dengan cara yang mudah dan murah untuk menghindari kerugian. Oleh karenanya perusahaan seringkali menjalankan pola yang sama dalam memenangkan sengketa lahan. Hal tersebut dilakukan dengan menyulut konflik horozontal yang mengadu sesama warga agar saling berhadap-hadapan sehingga perusahaan bisa dengan mudah menguasai tanah.

Modus ini dijalankan dengan menyuap elit atau tokoh warga, memberikan ganti rugi tanah pada hanya sebagian warga atau mempekerjakan beberapa warga yang mudah terbujuk iming-imging gaji tinggi, yang pada akhirnya berpihak pada perusahaan. Dalam situasi tertentu, pertarungan fisik antar sesama warga tidak terelakkan dan menelan kerugian harta serta nyawa yang pada akhirnya memuluskan langkah perusahaan untuk menguasai tanah. Dalam kondisi seperti itu konflik agraria kemudian berubah menjadi konflik antar sesama warga dan hal ini dapat menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah untuk bertindak dalam rangka meredakannya dan berakhir dengan kemenangan perusahaan atas tanah yang menjadi sengketa.

Represi Terhadap Perjuangan Sosial

Di dalam UU PKS dijelaskan bahwa pemerintah memiliki keleluasaan mengerahkan pasukan nasional yang memiliki kemampuan tempur di atas kemampuan polisi. Undang-undang ini memberikan celah yang lebar untuk menghadirkan represi militeristik yang kental dan sering dipraktekkan kala Suharto berkuasa selama 32 tahun. Negara juga bisa dengan mudah mencap perjuangan sosial masyarakat yang sekedar menuntut hak, atau menginginkan transformasi yang lebih menyeluruh sebagai konflik sosial yang harus dicegah atau dipadamkan. Sebagaimana nilai usang yang sering dikemukakan oleh negara tentang stabilitas, ketentraman dan ketertiban, undang-undang ini mengusung terciptanya hal-hal tersebut guna memacu pembanguan dan pertumbuhan ekonomi demi mewujudkan kesehahteraan rakyat. Namun kalimat klise seperti ini diajukan untuk mengaburkan kondisi sebenarnya yang terjadi di tingkat masyarakat, dimana perampasan, peng-hisapan dan pelecehan mendominasi keseharian warga negara. Kondisi aman yang dimaksudkan pemerintah adalah situasi yang kondusif agar perusahaan-perusahaan raksasa bisa merampas tanah rakyat, menghilangkan kemandirian ekonomi rakyat sehingga memaksanya menjadi pekerja upahan.

Untuk memuluskan titik awal perusahaan untuk melipatgandakan keuntungan, perlu ada perlakuan yang tepat untuk mencegah perlawanan muncul dan menyebar. Jika usaha-usaha persuasif pemerintah yang seringkali mengerahkan agen-agen pemoderanan masyarakat melalui NGO tersebut gagal, pengerahan aparat militer selalu menjadi pilihan untuk menekan warga dengan dalih pengamanan dan penstabilan kondisi. Hal ini semakin mudah dilakukan dengan desentralisasi kekuasaan dalam menetapkan kondisi sebuah wilayah sedang dalam “konflik sosial” yang diatur dalam undang-undang ini. Faktanya, pemerintah daerah seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah kini menjadi centeng lokal yang dengan setia melayani kepentingan perusahaan. Di Morowali, Bima, Mesuji, Takalar dan Semunying membuktikan bahwa pemerintah menjadi aktor penting untuk memuluskan rencana operasi perusahaan tambang dan perkebunan, yang dengan mudah memberikan perizinan tanpa perlu memberi tahu masyakatnya, bahkan menjadi garda depan yang menekan warga untuk tidak macam-macam. Melihat hal ini, kita dapat sampai pada kesimpulan bahwa undang-undang ini makin menegaskan kekuasaan pemerintah daerah yang sedari awal mempunyai tanggung jawab melemahkan setiap individu yang dinaunginya, menyebarkan mental inferior, merepresi individu dengan hukum dan aparat penegaknya, sehingga lebih mudah dikontrol dan perlakukan seenaknya.

Pada kasus konflik sosial yang setidaknya dipermukaan diberitakan sebagai konflik SARA, kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah peradaban manusia dimana konflik seperti ini memiliki bentuk penyelesaian masing-masing sesuai dengan kebudayaan di tiap lokasi konflik. Masyakat yang tidak mengenal sistem pemerintahan formal selalu bisa menemukan keseimbangan di dalam lingkup mereka, meskipun perang seringkali tidak terelakkan. Terkait dengan hal tersebut, di dalam undang-undang ini juga mengatur pranata adat dan komisi penyelesaian konfilik (KPKS) sebagia lembaga khusus yang mengusahakan proses perdamaian dan rekonsiliasi di antara warga yang berkonflik.

Dalam usaha untuk menangani konflik jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit, belum lagi jika eksalasi konflik yang terlanjur membesar. Untuk menjawab ketidakberdayaan negara dalam penyelesaian konflik, negara melalui undang-undang ini bisa memberdayakan agen-agen lokal untuk menyelesaikannya. Mekanisme musyawarah yang mengakar di dalam budaya masyarakat diambil alih dan dilembagakan oleh negara demi kepentingan stabilitas. Dengan diambil-alihnya forum-forum musyawarah warga oleh negara, kemarahan bisa dengan mudah mereda. Di dalam pranata adat maupun KPKS, unsur negara sangatlah dominan di dalamnya, sehingga dalam proses dialog yang dilakukan akan menghindari penyelesaian akar masalah dan mendorong agar masyarakat untuk tetap tunduk pada aturan hukum yang diberlakukan oleh negara. Dalam keadaan tertentu cara ini mudah dan murah untuk memadamkan api.

Mengingat semua aturan dan perundang-undangan dibuat oleh segelintir orang yang punya posisi istimewa dan kepentingan terhadap hidup kita, maka kita mesti waspada. Dominasi mereka yang berjumlah secuil terhadap hidup orang yang sangat banyak harus dihentikan. Jangan menunggu, mulailah dari sekarang!

 

*) Dimuat dalam Serum no 3 – Juni 2012

Tagged , Konflik sosial, , represi, UU PKS

Related Posts

One Comment

  1. from indonesiaJul 10, 2012 at 9:21 pm

    [...] Remembering that all laws and regulations are made by a handful of people in privileged positions with their own interests over our lives, we should always be cautious. The domination of a few over the lives of the rest must be stopped. Don’t wait around, get started now! Source: https://kontinum.org/2012/06/penegasan-represi-negara/ [...]

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Call For Papers – Jurnal Kontinum
Tulisan Terbaru
Flash News
Terbitan Terkini !