Redaksioner
KELAS DAN TUJUAN
Beberapa bulan terakhir gerakan sosial di Indonesia terasa lebih bersemangat dan menguat. ‘Keberhasilan’ menunda kenaikan BBM akhir April lalu menginjeksikan gairah yang cukup besar ke dalam diri kaum revolusioner, aktivis maupun lapisan masyarakat lain yang tidak ikut terlibat langsung. Meskipun takaran-takaran tersebut sangat longgar untuk diperdebatkan kesahihannya, situasi-situasi seperti ini tetap penting untuk memupuk dan menyuburkan semangat dan daya pukul melawan kapitalisme dan otoritarianisme.
Akan tetapi diluar perdebatan tentang intensitas dan kualitas gerakan sosial yang menanjak ataukah stagnan, agaknya euforia-euforia tersebut berpotensi mengaburkan tentang fakta dan bagaimana masyarakat yang kita pijaki ini berjalan, sekaligus apa yang kita semestinya inginkan.
Benar bahwa kesadaran untuk memperbaiki kehidupan harian dapat tumbuh dalam momen-momen seperti unjuk rasa dan seremoni hari-hari bersejarah. Namun kesadaran tersebut juga harus membimbing laku pergerakan ke arah penegasian tatanan hari ini, dan bukannya terpesona dengan perubahan kecil-kecilan yang hanya memuaskan dahaga aktivisme dan heroisme belaka.
Penegasannya, perjuangan kita mestilah bertujuan untuk menegasikan kapitalisme, yakni tatanan yang berpilar pada ekploitasi kerja, kepemilikan pribadi dan komoditi.
Memang nampak bahwa gerakan mengatasnamakan anti-kapitalisme terus tumbuh di seluruh dunia. Namun kita juga harusnya menaruh curiga, mengapa kapitalisme justru senantiasa mampu melewati krisis atas dirinya baik dengan mereproduksi diri atau bermanifestasi dalam wujud, label dan kemasan yang berbeda?
Apakah ada kemungkinan bahwa gerakan belum cukup memukul dan menyebabkan kapitalisme sanggup bangkit, menata dan memperkuat diri kembali dengan belajar dari pemberontakan-pemberontakan sebelumnya? Apakah juga dapat berarti pergerakan yang tumbuh tersebut justru mengarah pada penguatan kapitalisme?
Mari kita tengok ke belakang. Krisis yang dihadapi kapitalisme pada akhir 1960-an, mampu dilewati dengan melakukan restrukturisasi untuk merespon perjuangan kelas. Kapitalisme memunculkan serangkaian pemisahan, proteksi dan spesikifikasi untuk mengacak-acak resistensi dan perjuangan yang hadir sebelumnya. Apa yang bisa kita pahami dari sini adalah bahwa kapitalisme senantiasa berupaya mencegah proletariat mengenali dirinya sebagai satu kesatuan menyeluruh yang sanggup menghadapi kapitalisme, yaitu sebagai kelas.
Pasca restrukturisasi kapital tahun 1970-an dan 1980-an, eksistensi obyektif kelas hilang dari gerakan perlawanan, dan berganti dengan penegasan identitas proletariat dalam reproduksi kapital. Inilah yang kemudian menjadi corak lazim dalam tubuh gerakan yang tumbuh setelah itu.
Jika kita tilik dalam situasi kekinian di Indonesia, mayoritas gerakan lebih menekankan bagaimana mereformasi kapitalisme yang tercermin dari tuntutan dan proyeksi yang dilancarkan. Saat tuntutan-tuntutan tersebut terpenuhi, kapitalis meminimalisasi kontradiksi dengan pekerja, sehingga makin mengarah pada penguatan kapitalis itu sendiri. Ditambah lagi dominasi elit dalam gerakan yang hirarkis dan birokratis yang menumpulkan inisiatif dan radikalisme mereka yang kerap dilabeli ‘massa’.
Perjuangan kelas lalu dikonversi menjadi representasi di luar kelas itu sendiri, via serikat yang hirarkis atau partai-partai yang birokratis. Bentuk-bentuk seperti ini pada akhirnya akan lebih menekankan legitimasi kontrol atas massa.
Bagi kapitalis ini tak berarti kekalahan dan memperlemah dirinya, justru potensi menjadi kekuatan baru dipupuk kembali saat pekerja tak lagi merasakan kontradiksi.
Tapi sekali lagi, perjuangan kita bukanlah untuk memperbaiki hubungan antara kapitalis dengan pekerja atau sekedar memperbaiki kondisi lingkungan kerja. Ia harus melampaui itu, baik dalam laku maupun visi.
Sebagaimana yang harus dimaknai ulang, bahwa pergerakan adalah proses dialektis untuk membangun kemampuan secara mandiri dalam mengorganisasikan diri sebagai kelas, menolak kontrol eksternal dan hirarkis, merebut nilai yang dicuri kapitalis, untuk menegasikan tatanan yang eksis ini. Ia tidak terjadi nanti, tetapi senantiasa.
Cara yang realistis bukanlah dengan memberikan kuasa dan legitimasi bagi sebuah organisasi, badan, partai atau elit pemimpin tertentu untuk mengatur dan memimpin revolusi, melainkan dengan memulai kontrol di tangan proletariat sendiri. Saat kontrol berada di tangan pekerja, saat itu pula mereka dapat belajar dalam kondisi menang maupun kalah. Proletariat dalam hal ini juga harus siap untuk mengelola hasil produksi, mencari tahu nilai yang dicuri oleh para kapitalis, mempelajari bagaimana mereka bekerja dan lain-lain.
Bentuk-bentuk perjuangan yang harus diadvokasi adalah perjuangan dimana inisiatif, kontrol dan pengelolaan berada di tangan sendiri, seperti pemogokan-pemogokan liar atau tak resmi (wildcat strike), sabotase, pembangkangan, atau bentuk-bentuk lain bersifat swa-organisasi. Mungkin saja kita tidak langsung melihatnya dalam skala yang massal, melainkan dimulai dari bentuk-bentuk kecil. Tapi bukankah hal ini jauh lebih berarti jika lahir dari kesadaran mendasar atas kelas itu sendiri, ketimbang kuantitas yang tidak melahirkan kualitas?
Disinilah kesadaran kelas menjadi pondasi penting bagi proletariat dalam perjuangan menghapus kapitalisme. Proletariat hanya bisa menjadi revolusioner jika menyadari dirinya sebagai sebuah kelas. Dan selebihnya pekerja dapat belajar membangun rumusan yang lebih tajam untuk mengubahnya menjadi perjuangan radikal, perjuangan untuk penghapusan kerja, kepemilikan pribadi dan komoditi.
Tagged perjuangan kelas
Nedy LudditiansyahMay 12, 2012 at 5:04 pm
wow, like this ah.
DMay 15, 2012 at 9:11 am
Kesadaran kelas yah? mm
bukankah kelas sosial itu terbentuk oleh sistem kapitalis ini? dan menuju tujuan kapitalisme…
pembentukan kelas ini adalah untuk saling mendukung satu-sama lain, struktur dalam
ekonomi kapitalis itu sendiri..
sy setuju bahwa memberi kuasa ke lembaga, organisasi, dn partai adalah hal yg bodoh,
dan lgi sama bodohnya dengan menjadikan kesadaran kelas sbgai pondasi perlawanan.
ini dikarenakan, kelas sosial merupakan ciptaan sang kapitalis. dn ciptaan ini
berjalan saling membutuhkan, (kapital datang, mengusir, dn memperkerjakan orang2), kapital akan selalu menciptakan kelas pekerja, entah mereka sadar atau ga sadar, krna mereka memerluka kelas itu.
seperti lingkaran roda pedati. dan tujuan kapitalisme ini sendiri adalah untuk terus mendominasi, jika ada resesi atau krisis atau apalah, itu bukan menandakan bhwa kapital akan hancur, ini dikarenakan dalam sistem kapitalisme terdiri dr kompetisi dan negasi untuk dirinya.
simpelnya: kelas bawah, tengah, dn atas sama ajah fungsinya dgn lembaga, organisasi,
bahkan partai politik. penopang sistem ini…
jika membangun revolusi melalui cara ini, akan sangat mudah ditebak, dn lagipula sama sekali tidak menyerang didaerah yg mematikan si kapital
revolusi penghancuran kapitalisme adalah milik siapapun, yg menghendakinya, yg tertarik untuk mewujudkannya.. yg jatuh cinta kepadanya…
lintas kelas, lintas ras, lintas gender.. dll … dll…
salam..
*sekedar opini pribadi
Ishmael YahalahMay 24, 2012 at 9:45 am
hey, D !
ya tepat… kesadaran kelas. Teks ini memang merujuk pada kesadaran kelas, sebagai salah satu hal penting dalam ikhtiar pengabolisian kapitalisme dan negara. disini kami sengaja menekankan hal tersebut sebagai konteks dan salah satu point yg absen dalam gerakan-gerakan yg bergemuruh akhir2 ini. misalnya banyak serikat buruh atau kelompok2 mahasiswa yang turun protes, tp sebenarnya tidak dalam kerangka antagonisme kelas. ujung2nya kita tahu, seperti yg tertulis diatas bahwa ini hanyalah “untuk memperbaiki hubungan antara kapitalis dengan pekerja atau sekedar memperbaiki kondisi lingkungan kerja.”
dalam pandanganku, tentu saja, kesadaran kelas tetaplah penting, meskipun bukanlah paling penting. reduksionisme macam itu memang tidak perlu, tetapi sebaliknya, bahwa kesadaran kelas mesti ditanggalkan, saya rasa ini usulan konyol.
lintas kelas, ras dan gender mmg ideal. tetapi konsepsi tersebut memiliki keterbatasannya sendiri. apalagi menganggap bahwa ‘lintas kelas’ berarti pekerja dan majikan bisa mewujudkan dunia yg lebih baik, … ini kelakar yg berbahaya. semoga bukan hal ini yg kau maksud.
memang, ide seperti ini selain dipraktekkan oleh kebanyakan LSM dalam kerangka ‘gerakan sosial baru’-nya yg lintas kelas, ras, dan kepentingan itu, juga diadopsi banyak gerakan radikal seperti para ekologis/anti-peradaban. tapi ada ambivalensi dalam komentarmu diatas. saya kurang paham dalam frame mana kamu berdiri.
dan terakhir yg mau saya katakan : kesimpulanmu bahwa “kelas sosial adalah ciptaan sang kapitalis” menunjukkan distorsi yg ahistoris. seolah-olah kapitalisme itu serupa benda semata.
sesungguhnya ini berakar dari perbedaan persepsi kita masing2 ttg apa itu kelas, kesadaran kelas, dan perjuangan kelas. gejala yg sebenarnya umum, terutama di lingkar2 anarkis/antiotoritarian.
nah, biar tidak bias, mungkin kita bisa melanjutkan diskusi ini dgn memaparkan masing2 sudut pandang.
salam hangat selalu
Ishmael Y
thoughtcrimeJun 17, 2012 at 4:26 am
Kesadaran kelas, sesungguhnya sejak era kemenangan “kelas” pada 1917 di Russia malah menjelaskan satu hal, bahwa perjuangan kelas seharusnya berujung pada penghapusan kelas itu sendiri. Saat kelas tertentu berkuasa, entah ia menamakan dirinya kelas proletariat atau kelas borjuis, ia hanya mereproduksi bentuk kelas penguasa sebelumnya.Kesadaran diri proletariat sebagai sebuah kelas, ternyata hanya sebuah awal, awal sekali, dari pencapaian tujuan yang tertinggi. Dan bahkan untuk mencapai awalan saja, sialnya kita masih jauh banget. Banget.