BENGIS : WATAK SEMUA KAPITAL
Ishmael Yahalah
Di Tiaka, Agustus 2011 yang lalu, polisi menembak mati dua orang warga lokal yang melakukan aksi protes ke lokasi pertambangan MedcoEnergy di Morowali, Sulawesi Tengah. Aparat memberondong dengan peluru tajam ke kapal yang ditumpangi para pemrotes. Media massa melaporkan setidaknya 5 orang kritis dan 17 orang yang hilang di lautan.
Selain sebagai perusahaan yang mengeksploitasi Blok Tiaka, sebuah wilayah konsesi minyak di Kecamatan Mamosaloto dan Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, PT. Medco Energy International Tbk dikenal sebagai ikon ekonomi nasional. Korporasi ini pada mulanya bernama PT. Meta Epsi Pribumi Drilling Company, kontraktor pemboran swasta Indonesia yang pertama. Meskipun core bisnis grup ini adalah eksplorasi dan produksi minyak dan gas, ketenagalistrikan dan industri hilir namun anak-anak perusahaannya kemudian mengembangkan sayap bisnis ke industri pangan skala raksasa hingga bisnis kompetisi sepakbola.
Pemiliknya, Arifin Panigoro, adalah pengusaha sekaligus politisi yang dikenal memiliki kanal politik yang kuat, sesuatu yang jamak bagi orang-orang sepertinya. Meskipun didirikan dan berkedudukan di Indonesia, operasi bisnis grup Medco tidak hanya berlangsung di dalam negeri. Dalam Annual Report Medco Energy tahun 2010, disebutkan semenjak 2004 MedcoEnergi telah memperluas jelajah ekspansi dan cengkeramannya dalam bisnis minyak dan gas di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Oman, Yaman, Libya dan Tunisia. Posisi ini menancapkan pengaruh kuat Arifin Panigoro bersama grup Medco-nya sebagai salah satu kapitalis nasional terkemuka di Indonesia.
Definisi-Definisi Yang Membingungkan
Dalam diskursus anti-kapitalis kontemporer, sering kita jumpai istilah dan kategorisasi yang diberikan baik dari lingkar aktivis, media massa, litetatur, maupun masyarakat umum yang melekatkan label-label ‘nasional, ‘pribumi’, ‘dalam negeri’. Istilah dan kategori tersebut bermaksud memberikan keterangan terhadap sebuah subyek, misalnya ‘borjuis nasional’, ‘pengusaha pribumi’, ‘modal dalam negeri’, dan sebagainya.
Ini adalah cerminan dari pandangan umum di kalangan aktivis anti-kapitalis maupun masyarakat secara umum, bahwa modal atau kapital layaknya sebuah benda yang dengan secara sederhana bisa disubsitusi dan dikategorisasi berdasarkan tempat asal. Misalnya Samsung sebagai modal dari Korea Selatan karena disanalah perusahaan ini lahir dan identitasnya melekat dengan Korea. Hal yang sama juga berlaku bagi Carrefour sebagai representasi modal Perancis, Honda dan Sony (Jepang), Shell (Amerika), British Petrol (Inggris), Petronas (Malaysia), atau Salim Group di Indonesia, dan seterusnya.
Konsepsi tersebut sangat dipengaruhi oleh kerangka nasionalis dan logika negara-bangsa yang memandang identitas kebangsaan sebagai sesuatu yang lebih penting –ketimbang kelas sosial misalnya. Karenanya menurut pemahaman tersebut, konsep negara-bangsa adalah sebuah unit yang tidak terelakkan dalam memandang perkembangan kapitalisme. Jika kita memahami dengan baik bagaimana kesejahteraan (wealth) dihasilkan, istilah nasional sama sekali tidak ada hubungannya dengan kontribusi borjuasi pada masyarakat –dan malahan sebaliknya.
Empat Kritik Awal
Pengkategorisasian kapital melalui pembedaan antara kapitalis asing dan kapitalis pribumi; antara korporasi asing dan perusahaan dalam negeri malah terkadang menjadi perdebatan yang membingungkan, jika tidak menyesatkan. Terutama karena analisa tersebut tidak berhenti sebagai pembedaan darimana kapital berasal (luar negeri atau dalam negeri), tetapi juga kemudian berubah menjadi kesimpulan dini tentang perbedaan watak dan karakter kapital. Seperti dalam argumen : ‘kapitalis asing itu jahat ketimbang kapitalis lokal’, ‘lebih baik borjuis (pribumi) yang menguasai perekonomian nasional ketimbang perusahaan asing yang hanya memperkaya negaranya,’ dan sebagai kesimpulan ‘kita mesti menolak dominasi modal dan korporasi asing dalam perekonomian kita’.
Pemahaman mengenai kapital seperti di atas sesungguhnya tidak memadai. Pertama, disebabkan dominasi sistem ekonomi kapital mengalami proses transnasionalisasi massif dalam 40 tahun terakhir. Proses dan sirkulasi produksi kapitalis berubah jauh dan lebih luas, lebih cepat, dengan persebaran yang tidak lagi memusat.
Untuk memahami hal tersebut kita mesti berpikir dalam kerangka anti-kapitalisme dengan mempertimbangkan konfigurasi tatanan global perekonomian saat ini yang melalui berbagai proses menyejarah, kompleks dan berdarah-darah –dari imperialisme hingga enclosure baru[1], sehingga transnasionalisasi kapital berada dalam fase yang seturut dengan fleksibilitas pasar. Disini istilah nasional sama sekali tidaklah relevan, kecuali dalam hal pengidentifikasian normatif.
Kedua, bila seksama dan cermat pendekatan ini sesungguhnya mengandung logika sesat. Karena ‘kita menolak dominasi modal dan korporasi asing dalam perekonomian kita’ maka kita mestinya ‘mendorong kapitalis nasional mengambil peran dominan di dalamnya’, karena konon ‘pengusaha pribumi lebih memperhatikan pembangunan karakter identitas kebangsaan dan lebih berpihak pada pekerja pribumi –ketimbang asing’, dan sebagainya.
Sebagaimana digambarkan Tom Wetzel (2001)[2] bahwa situasi ini disulut sentimen nasionalisme dunia ketiga yang kontra terhadap kekuatan dan dominasi modal asing yang cenderung menggerogoti kedaulatan nasional (national sovereignty), menghancurkan karakter kebangsaan, dan mengancam identitas nasional. Gerakan pembebasan nasional, yang diadopsi oleh kebanyakan kelompok Kiri dan nasionalis adalah strategi yang ditempuh untuk menghalau kekuatan-kekuatan tersebut. Tujuannya menciptakan perekonomian yang dijalankan oleh negara yang dapat memangkas kekuatan dominan di pusat kapital. Dalam level tertentu strategi ini justru mendorong ‘aliansi kelas’ dengan mendukung dan beraliansi dengan borjuasi nasional untuk memobilisasi kekuatan bersama secara nasional melawan dominasi modal asing dan imperialisme.
Hal ketiga, bila kita perhatikan lebih cermat, pandangan-pandangan ini berdiri di atas pemahaman yang memandang kapital sebagai benda (thing) sehingga dengan sederhana disubsitusikan dengan label yang dimaksudkan sebagai entitas kapital: berdasarkan asal negara (modal asing/nasional, modal Amerika, dst), jenis bisnis (modal perbankan, modal industri makanan, dst) [3]. Pemahaman semacam ini jelas gagal memahami apa itu kapital, dan karena itu pula tawaran strategisnya dalam agenda melikuidasi kapitalisme, mesti dicurigai.
Sementara yang keempat, konsekuensi pendekatan ortodoks ini memandang kelas pekerja cenderung pasif, tidak memiliki daya kreasi dan potensi untuk melakukan pemberontakan dan menciptakan revolusi. Kelas pekerja dianggap sebagai korban dari kapitalisme, karenanya revolusi dipandang sebagai sebuah kesempatan yang dapat ditempuh pada saat kapitalisme berada dalam titik lemah[4].
Dengan pemahaman bahwa kapital sebagai benda, kapitalisme dipandang sebagai sebuah sistem dominasi yang melakukan reproduksi diri, memisahkan antara subordinasi kapital terhadap kelas pekerja (ekspolitasi, penindasan) dan insubrodinasi kelas pekerja terhadap kapital (resistensi, pemberontakan), sesuatu yang sebenarnya inheren dalam kapital itu sendiri.[5]
Resistensi dan Potensi
Penting sebagai penekanan bahwa kapital telah mengalami perluasan, pembanyakan episentrum-episentrum, dan disertai fleksibilitasnya dalam mereorganisasi penghisapan dan penindasan. Oleh perkembangan teknologi, ruang dan waktu disusut-padatkan dalam sistem produksi. Ini merupakan faktor penting untuk menganalisa bahwa istilah asing/domestik sebenarnya tidak lagi relevan semenjak kapital dapat dilekatkan dengan apa saja dan dapat eksis di mana saja.
Dengan transnasionalisasi kapital, sebuah komoditi dapat diproduksi di berbagai tempat dengan organisasi kerja yang tersistematis (international division of labour). Toyota Avanza misalnya, bannya dibuat oleh Dunlop (Inggris), mesinnya diproduksi oleh Daihatsu Motor Co., Ltd (Jepang), bodinya dikerja di Karawang (Indonesia), dirakit oleh Peroda Dua Manufacturing (Malaysia) untuk kemudian diekspor sampai ke Thailand. Hal serupa juga berlaku bagi notebook Lenovo atau sepatu Adidas. Belum lagi, setiap saat kapitalis dapat memindahkan dan menanamkan modalnya di mana saja yang memungkinkan.
Lantas, bagaimana menyusun kesimpulan sah tentang Toyota Avanza sebagai produk dalam negeri? Atau apakah pencapaian Astra Motor adalah pencapaian perekonomian nasional?
Disini, sebuah teritori nasional bukanlah sebuah hal penting bagi kapital, sepanjang akumulasi mensyaratkan ekspansi geografis. Batas-batas nasional dalam perekonomian global luruh, karenanya kapital tidak memiliki tanah air, kebangsaan, dan kepribadian yang beragam –mengacu pada latar belakang dari mana kapital berasal.
Hal inilah yang mendasari bahwa kapital tidaklah tepat dipandang sebagai benda, yang dapat dibedakan dan dikategorisasi berdasarkan kata keterangan yang melekat di belakangnya, yang dapat dimiliki atau dijual, dll.
Dalam hal ini kapital merupakan sebuah relasi, lebih tepatnya relasi sosial, yang dimediasi oleh uang untuk agar hubungan ekonomi tersebut bisa berjalan.
Dengan memahami bahwa kapital merupakan relasi sosial maka juga membawa kita untuk memahami bahwa relasi model ini mengandung dua hal inheren yang saling berlawanan, yakni eksploitasi (subordinasi) dan perlawanan (insubordinasi). Kedua hal ini eksis dalam relasi kapitalis dan paling jelas diekspresikan dalam perjuangan kelas antara kapitalis dan pekerja. Dalam relasi ini, antara struktur dengan perjuangan adalah hal yang saling bertaut, sebagaimana subordinasi (kapitalis terhadap pekerja) dan insubordinasi (pekerja terhadap kapitalis). Konfigurasi struktur dan perjuangan dalam relasi kapital juga pada akhirnya membawa kita untuk memahami bahwa pada dasarnya pekerja memiliki posisi penting dalam relasi produksi sebagai pusat perjuangan kelas, dan bukannya sebagai korban, pasif serta tidak memiliki kemampuan. Sebaliknya kelas pekerja memiliki kecakapan untuk mengembangkan swa-aktifitas (self-activity) dan pembalikan (inversion) sebagai potensi yang pada dasarnya inheren pada dirinya sebagai kelas. Konfirmasinya secara historis bisa dilihat dari perubahan dan perkembangan struktur kapitalisme yang esensinya adalah respon terhadap perjuangan proletariat[6].
Watak Semua Kapital
Bagaimana pun, peristiwa di Tiaka yang menyeret Pertamina, Medco dan Panigoro sebagai “kapitalis nasional” –atau jika kita belum melupakan lumpur Lapindo bersama Tuan Bakrie, justru mengkonfirmasi watak dan dan sifat alamiah dari semua bentuk kapital : bengis.
Joel Bakan (2002) dalam The Corporation, buku laris yang kemudian difilmkan, menyelidiki tentang watak korporasi sebagai manifestasi dari terorganisasinya relasi ekonomi kapital. Dengan bantuan Buku Panduan Asosiasi Psikiatri Amerika, ia mempersonifikasi korporasi sebagai seorang manusia dan menganalisa watak-wataknya layaknya individu. Dari serangkaian data, informasi dan temuan Bakan menyimpulkan bahwa korporasi merupakan sosok yang kejam, psikopatik, antisosial, culas dan munafik. Wujud legal dari organ kapital itu merupakan institusi patologis yang memiliki kekuatan jahat yang besar yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kesimpulan psikiatris tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil pembacaan radikal atas relasi sosial kapitalis.
Tentu saja, dalam perjuangan penegasian kapitalisme, tidak ada relevansinya membedakan antara kapital asing dengan yang domestik, tidak ada nilai strategisnya membela borjuasi nasional dan hanya menolak yang asing. Alih-alih, apa yang mesti didorong justru kesadaran bahwa sentimen-sentimen nasionalis adalah selubung mujarab yang bisa membutakan kita dari kebengisan “bajingan pribumi” seperti Djarum, Bakrie Group, Sinar Mas, Medco, Salim, Kalla Group, dan sejenisnya.
[1] New Enclosure adalah deskripsi tentang karakter enclosure tipe baru yang membedakannya dengan tipe lama. Silahkan lihat lebih lanjut cek tulisan-tulisan Midnight Notes, kolektif otonomis yang berbasis di Amerika. Silvio Frederici, salah satu bagian dari kolektif ini memberikan kontribusi besar dalam analisanya tentang perempuan, tubuh dan akumulasi primitif, yang bahkan melampaui Marx. Frederici mengulas bahwa di era modern ini, tubuh manusia sejajar dengan tanah petani subsisten dalam gambaran Marx di Kapital. Karena modus-modus akumulasi primitif, terutama mengenai immaterial labour dan kapitalisme kognitif, tubuh menjadi arena tempat kapitalisme mengakumulasi.
[2] Tom Wetzel (1991) ‘Every Nation-States are Imperialist By Nature’, terbit pertama kali dalam majalah Anarko-Sindikalis ‘Ideas and Action’ #16. Artikel bisa dibaca di : http://libcom.org/library/every-nation-state-imperialist-nature-tom-wetzel. Tentang konfigurasi negara dan kapital lebih detail silahkan membaca Werner Bonefeld dan John Holloway ‘Global Capital, the National State and the Politics of Money’ (1995).
[3] John Holloway (1995), Capital Moves dalam Capital & Class #57
[4] Poin ini adalah salah satu ide sentral dalam tradisi otonomis dan bentuk-bentuk pembacaan non-dogmatis seperti open Marxism, bahwa kelas pekerja adalah sentral dari perjuangan kelas. Pembacaan ini merujuk pada gagasan-gagasan dalam Grundrisse, salah satu karya terpenting Marx, yang absen dalam pemikiran Lenin, Trotsky atau Mao, karena baru dipublikasikan (dalam bahasa asing) jauh setelah pondasi Marxisme-Leninisme dimapankan.
[5] Holloway, Op Cit.
[6] Diskursus ini diekspos oleh banyak kalangan otonomis maupun Komunis anti-negara yang berkonfrontasi dengan ide-ide strukturalisme Althusser maupun Polantzas, terutama merespon post-Fordisme dan kecenderungan perkembangan teknologi canggih sebagai instrumen eksploitasi. Berseberangan dengan optimism mayoritas Marxis tentang teknologi dan kerja, diskursus ini mengadvokasi ‘penolakan kerja’ (refusal of work), merayakan Luddite (kontra-teknologi), swa-valorisasi pekerja, dan mendukung otonomi dan inisiatif proletariat dalam mengembangkan swa-aktifitasnya.

