Teks
PEMBERONTAKAN DAN KEBANGKITAN BURUH DI CHINA
Ishmael Yahalah
Bulan Juni 2011 kemarin, sebuah peristiwa historis di China menandai kebangkitan baru yang konsisten dalam gerakan pekerja negeri tersebut. Para buruh memberontak pada rezim ‘Komunis’ China sebagai respon melawan represi dan eksploitasi yang mereka alami. Kejadian ini menyambung serangkaian pemogokan besar dan protes keras tahun sebelumnya. Sebuah situasi yang mengekspos banyak hal.
Kemarahan di Ibukota Jeans Dunia
Demonstrasi disusul bentrokan besar pecah di kawasan industry Xintang, Propinsi Guangzhou. Dilaporkan 10.000 pemrotes marah atas sebuah kejadian yang menimpa Wang Lianmei, buruh perempuan berusia 20 tahun yang tengah hamil. Buruh migran dari Sichuan itu dipukuli hingga tersungkur ke jalanan oleh aparat keamanan dalam sebuah razia penertiban saat ia bersama suaminya menjajakan dagangan dengan sebuah gerobak di depan sebuah supermarket.
Kabar ini segera tersiar dan menyulut solidaritas serta kemarahan bagi pekerja lainnya, terutama para buruh migran asal Sichuan. Mereka keluar dari pabrik, berdemonstrasi, menduduki pusat kota, hingga menyerang kantor-kantor pemerintah, membakar mobil polisi dan berbagai properti, lalu terlibat perang jalanan yang sengit melawan aparat negara.
Keesokan harinya kerusuhan membesar. Tetapi pekerja yang marah tidak hanya menyerang dan membakar mobil-mobil polisi dan kantor pemerintahan, mobil-mobil pribadi yang umumnya hanya dimiliki oleh orang-orang kaya pula menjadi sasaran. Ribuan buruh yang marah ini juga merusak kawasan pertokoan dan perkantoran. Di laporkan ratusan orang ditangkap aparat.
Untuk meredam kemarahan dan aksi buruh, pemerintah China mengirim 6000 pasukan paramiliter yang dipersenjatai lengkap dengan kendaraan lapis baja dan gas air mata. Mereka menyerang dan memaksa para buruh menghentikan protes yang berlangsung hingga seminggu itu. Kekerasan menjadi satu-satunya senjata negara kapitalis tersebut untuk mengendalikan para pekerja. Di tahun 2010, merespon eskalasi yang memperlihatkan trend meningkat, pemerintah China membelanjakan anggaran lebih banyak untuk polisi (bahkan dibandingkan untuk militernya) dalam rangka mengontrol gejolak sosial dalam negeri. Hal yang sama juga diterapkan pada tahun 2011 ini.[i]
Tapi hal ini tidak memukul mundur para pekerja, sebaliknya memancing kemarahan lebih besar lagi. Pemerintah juga meminta sekutu-sekutu mereka, yakni para pemilik pabrik, untuk tetap menjaga pekerja di dalam pabrik dan memastikan agar pekerjanya tidak terlibat dalam protes yang berlangsung.
Tak cukup disitu, untuk mengisolasi para buruh migran tersebut dan menghindari solidaritas menjalar ke daerah lain, pemerintah China memblokade akses internet. Represi lewat internet ini dilakukan dengan memblok blog-blog dan situs yang memberitakan kejadian ini. Bahkan nama kota Xintang (Zengcheng) juga disensor sehingga tidak terlacak dalam sistem pencarian di mesin pencari[ii]. Meski begitu, para pekerja masih dapat lolos dari blokade digital ini dengan mengunggah video-video aksi pemberontakan mereka melalui pesawat telepon seluler.
Kejadian ini dengan telak menghentak China, terutama karena berlangsung di sebuah zona primadona perekonomian nasional negeri itu.
Xintang adalah sebuah kawasan industri jeans skala dunia. Kapasitas produksinya mencapai 260 juta lembar jeans per tahunnya. Jumlah ini merupakan 60% dari total produksi China secara keseluruhan untuk 60 merk internasional, atau terbesar ketiga di dunia. Karena besarnya produksi tersebut, kawasan yang dijuluki ibukota jeans dunia tersebut memiliki posisi sangat vital dalam pereknomian China, bahkan menjadi simbol pembangunan ekonomi tersebut selama lebih dari 30 tahun.
Situasi ini sebenarnya mengekspos satu hal penting bahwa di balik kegarangan ekonomi China dalam konstalasi global saat ini, kapitalisme yang membungkusnya hanya bisa eksis melalui penghisapan dan penindasan.
Kebangkitan Baru yang Konsisten
Pemberontakan bukanlah sebuah diksi yang bombastis dalam hal ini. Pada kenyataannya lansekap sosial yang eksis sekarang adalah penggambaran yang konkrit untuk memahami munculnya ekspresi-ekspresi radikal dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa timbul di kemudian hari.
Peristiwa di Xintang tersebut bukanlah sebuah peristiwa yang terisolasi, berdiri sendiri, sporadik dan tidak ada kaitannya dengan latar sosial yang berkembang secara umum di China. Jika kita merujuk pada beberapa gelombang aksi pemogokan maupun protes keras yang terjadi sebelumnya, gambaran yang muncul justru sebaliknya. Di tahun 2010 saja, menurut catatan Sun Liping, sosiolog dari Universitas Tsinghua Beijing, terjadi lebih dari 180 ribu kali protes dalam setahunnya. Jumlah ini naik dua kali lipat dibandingkan tahun 2006[iii].
Beberapa waktu sebelum kejadian di Xintang juga dilaporkan beberapa kali protes keras yang kadang turut disertai dengan tindak-tindak kekerasan. Misalnya aksi bentrokan buruh migran melawan polisi di Chaozou, 210 mil dari Guangzhou, yang pula berujung pada pembakaran mobil-mobil polisi. Penyebabnya beragam, mulai dari hal normatif seperti tuntutan pembayaran upah, bahkan hingga hal-hal yang sepele.
Terlepas segala bentuk pemicunya, akarnya sebenarnya bisa dilacak. Berhadapan dengan kondisi hidup yang menyulitkan, korupsi yang meluas di lingkup pemerintah lokal, disertai dengan sistem politik yang tidak memadai, masyarakat memilih meluapkan kemarahan dan memperjuangkannya di jalanan.
Dengan menguatnya intensitas selama beberapa tahun belakangan tersebut, gerakan pekerja di China semenjak peristiwa Tiananmen, mengalami kebangkitan baru yang konsisten.
Ini tentu berhubungan dengan serangkaian pemogokan besar di pabrik-pabrik raksasa tahun lalu, seperti pemogokan buruh Honda selama 2 minggu yang melibatkan 1900 pekerja[iv]. Aksi tersebut memaksa pihak perusahaan menaikkan tuntutan kenaikan upah buruh setelah menghentikan produksi di empat pabrik mobil utama.
Aksi tersebut dimulai dari pemogokan-pemogokan buruh di tingkat daerah yang memprotes rendahnya upah dan kondisi kerja yang buruk. Pemogokan pertama dan satu-satunya yang menjadi headline di pers China dimulai pada 17 Mei dan baru berakhir pada 4 Juni 2010. Pemogokan tersebut mulai dari pabrik Nanhai, milik Honda di Foshan, Guangdong. Aksi ini dimulai oleh dua orang pekerja di bagian perakitan. Menyadari bahwa posisi mereka sangat vital dalam produksi, dua orang pekerja muda ini dengan cepat menggalang keterlibatan pekerja lainnya dan seketika mampu menghentikan hampir keseluruhan produksi.[v]
Aksi ini memaksa produsen mobil terbesar di dunia tersebut merugi berupa kehilangan produksi ribuan unit mobil karena berimbas pada tutupnya empat pabrik lainnya. Pabrik di Foshan memproduksi transmisi manual maupun otomatis, bagian mesin yang dibutuhkan di empat pabrik lainnya. Mogoknya pabrik transmisi ini memaksa penutupan empat pabrik komponen dan perakitan lainnya[vi]. Aksi ini lantas disusul gelombang pemogokan lain, termasuk di pabrik mobil Toyota, bahkan di berbagai industri-industri lainnya seperti pabrik plastik, elektronik, makanan, baik itu pabrik manufaktur maupun leveransir.
Watak Otonom Gerakan Pekerja dan Represi Negara
Salah satu yang cukup signifikan muncul dari kebangkitan pekerja adalah wataknya yang berbeda dari biasanya. Dalam Workers Autonomy Strike in China (2011), sebuah pamflet yang dipublikasikan grup Movement Comunniste dan Kolektivn? Proti Kapitálu menggambarkan serangkaian pemogokan besar tahun lalu dan mengekspos karakter dan kecenderungan pekerja di China yang relatif otonom baik dari serikat buruh resmi All-China Federation of Trade Unions maupun Partai Komunis China. Faktanya serangkaian pemogokan yang muncul beberapa tahun terakhir berlangsung tanpa keterlibatan institusi-institusi tersebut dan bahkan menjauh darinya[vii].
Dalam pemogokan di Denso misalnya, sebuah pabrik yang memproduksi komponen Honda, para pekerja berhadap-hadapan dengan serikat yang mendukung pihak perusahaan. Mereka menggelar aksi mogok dan menolak pemilihan untuk menunjuk perwakilan yang akan bernegosiasi dengan pihak perusahaan.[viii]
Sementara para pekerja Honda di Foshan juga mengorganisir pemogokan secara independen. Untuk menghindari pantauan pihak perusahaan dan pejabat serikat, mereka berkoordinasi dan menyebarkan informasi melalui chatting room dan layanan pesan instan di internet, telepon seluler, maupun dari mulut ke mulut. Salah seorang pemogok mengatakan bahwa “Kami sendiri yang melakukan semua ini, mereka (serikat resmi) tidak mewakili kami dan tidak akan datang kesini. Kami malah tidak tahu siapa ketua serikat.” Dalam pemogokan tersebut, pekerja yang mogok dihalang-halangi oleh staf dari serikat buruh yang dikontrol negara[ix].
Seorang buruh perempuan di pabrik Honda dalam pemogokan besar tahun lalu juga berseru, “Serikat buruh sama sekali tidak mewakili kami.”[x]
Ini mendorong para aktifis mengubah pandangannya terhadap serikat buruh. Seperti Han Dongfan, seorang aktifis yang memulai membangun serikat buruh sejak peristiwa Tiananmen 1989, “Dengan tidak adanya serikat buruh yang mampu mengartikulasikan tuntutan-tuntutan buruh, hanya ada satu alternative yang tersisa bagi buruh yakni turun ke jalan.”[xi]
Situasi ini bisa dipahami bahwa dengan ketiadaan alat untuk menangani konflik-konflik kelas, maka yang terjadi adalah pemberontakan yang termanifestasi dalam pemogokan liar (wildcat strike), konfrontasi dengan polisi, solidaritas antar pabrik, serta pembangunan jejaring kampanye internasional. Alat-alat tersebut, yakni serikat buruh, pada akhirnya tidak mampu mendamaikan pertentangan dalam proses produksi hingga mendapati situasi menjadi mendidih dan tidak terkendali.
Semenjak hak mogok bagi pekerja dihapus dalam konstitusi China tahun 1982 yang lalu, resistensi pekerja tidak serta merta turut terhapus. Dalam prosesnya, pekerja mempelajari bahwa kelas penguasa di China banyak berharap bahwa serikat resmi dapat berpengaruh pada kelas pekerja. Namun bagi pekerja sendiri, tak satupun bentuk organisasi serikat cocok untuk menjawab kebutuhan mereka. Bagi pekerja, yang terutama adalah menemukan aksi kolektif apa yang paling efektif dalam menjawab kebutuhan-kebutuhan mereka.
Disini, pekerja China-lah yang memberikan pelajaran. Bahwa dalam kapitalisme negara (state capitalism), kemajuan sekaligus kegaduhan ekonominya selalu berkorelasi dengan meningginya eksploitasi pekerja, dan hal tersebut akan direspon dengan cara-cara yang tak terduga. Dan sebuah pemberontakan adalah ekspresi yang tidak terelakkan.
[i] http://www.businessweek.com/news/2011-03-06/china-s-spending-on-internal-policing-outstrips-defense-budget.html
[ii] Bob McGuire, “China’s Migrant Revolt,” News & Letter Vol 56 no 4 edisi Juli-Agustus 2011
[iii] http://www.asianews.it/news-en/Guangdong:-thousands-of-migrants-protest-against-local-authorities-and-residents-21816.html
[iv] http://libcom.org/news/china-unrest-spreads-honda-workers-keep-striking-13062010
[v] Lance Carter, “Auto Industry Strikes in China,” Insurgent Notes #2, Oktober 2010
[vi] MC & KPK, Workers Autonomy Strike in China, 2011
[vii] ibid, hal 30
[viii] ibid, hal 29
[ix] Setelah peristiwa Tiananmen, ada beberapa serikat-serikat bawah tanah yang bermunculan, mereka membangun relasi dan komunikasi dengan dunia internasional. Beberapa diantaranya adalah Serikat Buruh Merdeka China (Free Trade Unions of China), Liga Perlindungan Hak-hak Rakyat Pekerja (the League for the Protection of the Rights of Working People), Federasi Pekerja Manual (Hired-hands Workers’ Federation), Serikat Pembangunan China (China Development Union), dan lain-lain.
[x] Workers Autonomy Strike in China, 2011, hal 31
[xi] Protests in China Come Up Against State Repression, World Revolution edisi Juli 2011
Tagged buruh, china, pemogokan buruh, perjuangan kelas
thoughtcrimeFeb 14, 2012 at 8:08 am
Coba cari pemberontakan Huankantou di Cina juga. Udah agak lama. Berdarah darah dan penuh kekerasan, tapi menarik, karena mereka ngambil kekuasaan kembali ke tangan mereka sendiri.
Ishmael YahalahFeb 22, 2012 at 12:46 pmAuthor
Kejadian serupa juga barusan terjadi di Wukan. Banyak hal yg terjadi di China tetapi sensor internet memang cukup kuat disana.