Makassar dan sekitarnya baru saja menikmati hujan sore itu, perjalanan dengan menggunakan roda dua tua ku tak sepenat biasanya, hanya jalan berlubang yang sesekali menganggu hikmat putarannya. Selasa 11 Januari 2011, Saya dan Jo hendak ke wilayah yang dikenal dengan nama Benteng Somba Opu, public space yang berada tak terlalu jauh dari pusat kota Makassar. Benteng ini merupakan bekas peninggalan kerajaan Gowa yang babak belur setelah digempur pemerintah Hindia Belanda pada 1666-1669. Pertempuran antara penguasa feodal lokal dan ekspansi imperium Kerajaan Belanda bermuara pada kerusakan yang terbilang hebat dijamannya.
Setelah berseliweran diantara tumpukan kendaraan, kami tiba pada sebuah jembatan yang menghubungkan kompleks benteng Sompa Opu dengan jalan utama Daeng Tata, Kota Makassar. Tampak dari kejauhan terpampang spanduk putih dengan semprotan cat merah bertuliskan “Jangan coba-coba halangi pembangunan di kampung kami!” Spanduk itu bertengger pada gapura selamat datang Somba Opu. Ikatannya tampak mereggang, mungkin bobot kainnya bertambah karena air hujan yang menelisik masuk ke dalam seratnya. Memang tengah ada pembangunan di dalam kompleks benteng ini, dan rupanya warga tengah memastikan agar proses pembangunan tetap lancar dan tidak terganggu. Setidaknya ekspresi itu diwakilkan dengan spanduk tadi. Kami pun melewatinya dan beranjak masuk ke dalam kompleks.
Sebelum sampai di lokasi sisa reruntuhan benteng, kami menikmati barisan rumah-rumah adat dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Jalan berbalut aspal yang kadang diselingi paving block dengan banyak lubang, mengantarkan kami menemui bangunan dalam khasanah bugis Makassar tersebut. Sampai di satu titik mendekati reruntuhan benteng, tanah lapang becek yang diserbu hujan tampak jadi anomali diantara hijaunya hamparan sawah dan rerumputan. Rupanya ini adalah salah satu area pembangunan Gowa Discovery Park (GDP), sebuah proyek dengan nilai keseluruhan investasi mencapai Rp 20 milliar. Ini ditanamkan oleh Zaenal Tayeb, pemilik PT. Makassar Discovery Club.
Saya kemudian mencocokkan dengan rekaman di kepalaku soal pemberitaan media lokal tentang Pertemuan Saudagar Bugis Makassar (PSBM) yang diselenggarakan 15 September 2010 lalu. Dalam redaksi beritanya dengan jelas diungkapkan bahwa pertemuan yang diselenggarakan di Wisma Kalla tersebut juga dibahas soal rencana investasi GDP oleh Zaenal Tayeb. Kami pun hadir di sini, di salah satu lokasi pembangunan di antara keseluruhan lahan seluas 17 hektar, menyaksikan ‘buah manis’ hasil dari pertemuan para borjuasi lokal dan pemegang otoritas di daerah ini.
Kami berhenti sejenak di lokasi tersebut, menyaksikan dari dekat jejeran jeruji besi yang dirangkai menyerupai mangkuk terbalik. Spanduk putih kembali hadir bergelantungan di beberapa bagian ‘mangkuk besi’, namun tulisannya berbeda: Taman Burung, Yes! Rupanya deretan anyaman besi tersebut adalah kandang burung yang dipersiapkan untuk dipamerkan nantinya. Bisa terbayang banyaknya jumlah individu dan spesies yang ditangkap dan dikurung demi melayani kelihaian Zaenal melihat peluang bisnis akan laparnya mata kita akan keindahan alam. Kita akan membayar pada sesuatu yang sebenarnya setiap waktu bisa kita nikmati tanpa diantarai uang. Apakah masyarakat kota sudah sedemikian berjaraknya dengan alam sehingga harus diobati rasa rindunya dengan kehadiran wahana artifisial? Sedemikian parah kah peradaban yang kita bangun dan jalani setiap harinya?
Sementara Jo berkeliling mengambil beberapa gambar dengan sedikit waspada dan was-was, saya bertemu dan menyepatkan ngobrol dengan salah seorang warga. Pria berkulit gelap tersebut sedang berdiri, menatap luasan di depannya ketika kuhampiri. Karena udara sedikit dingin akibat hujan yang baru saja reda, saya mengeluarkan rokok dan mengisapnya, kemudian kutawarkan ke padanya, kami pun merokok bersama dan berkenalan.
Namanya Dg. Sanre ia tinggal di desa Timbuseng, salah satu desa yang berada di dalam kompleks Somba Opu. Kemudian saya bertanya tentang spanduk yang berada di dekat jembatan dan di kandang burung tadi, ia juga tak tahu menahu siapa yang membuatnya, mungkin saja bukan dari desanya. Ketika hendak saya bertanya soal pembangunan di sini, tampak air mukanya berubah, ia tak begitu nyaman dengan perbincangan ini. Ia kembali menatap hamparan di depannya, Jo pun datang dan kami pamit untuk melanjutkan perjalanan.
Apa yang diresahkan pria itu, mungkin saja sama dengan keresahanku tentang pembangunan yang sedang berlangsung. Ramai digunjingkan bahwa GDP akan digeser pembangunnya dari zona inti, menuju zona pengembangan. Walapun terjadi seperti itu , tetap akan ada lahan yang menjadi tumbal, diratakan dengan tanah, meskipun itu adalah ruang kehidupan masyarakat sekitar.
Cerita yang sama akan tercatat seperti halnya kisah warga Kassi-kassi yang dipaksa menyerahkan tanah dan rumahnya oleh Rizal Tandiawan. Juga warga Pandang Raya yang melakukan perang terbuka dengan polisi dan preman bayaran milik Wisan Goman. Si Zaenal Tayeb dengan kapital yang dimilikinya tentu saja akan menempuh jalan yang sama demi memuluskan investasinya. Orang-orang macam ini demikian rakusnya, hingga tak memperdulikan hal lain selain liurnya untuk memperoleh lebih banyak keuntungan.
Tampak sekilas, pembangunan GDP akan mendatangkan banyak keuntungan bagi warga sekitar. Namun ketika keberadaan tempat atau ruang di mana tak seorang pun memilikinya sekaligus semua orang berhak atasnya seperti halnya Somba Opu ini, dipagari, dirampas dari semua orang, dan dijadikan modal awal untuk terus melipatgandakan keuntungan tentu saja akan menghadirkan banyak ekses. Ruang yang tadinya terbuka, dalam sekejap mata digantikan dengan instruksi, pengawasan, eksklusivitas dan formalitas, ketika GDP hadir di atasnya. Selain itu, jika dianalisa lebih dalam hanya akan ada sedikit remah roti yang bisa digapai oleh warga sekitar jika megaproyek ini berdiri. GDP hanya akan menawarkan deretan pekerjaan yang menguras begitu banyak tenaga dan pikiran. Saya tidak hendak mendiskreditkan jenis pekerjaan tertentu, namun dalam konteks pasar kerja dan sistem ekonomi yang menuntut efisiensi di segala lini demi kepentingan akumulasi kapital, jenis pekerjaan ‘kotor’ menawarkan kesengsaraan dan alienasi akut bagi pekerja. Kondisi yang sangat tidak adil, di mana semestinya semua jenis pekerjaan memiliki posisi vitalnya masing-masing demi menjalankan hidup yang menyenangkan. Di samping itu, jikapun seorang pekerja yang mampu patuh dan taat dalam menjaga karirnya agar bisa melejit menuju posisi yang aman, ia pun harus harus terlebih dahulu menginjak-injak teman sejawatnya dan memastikan yang lain tetap di bawah demi mendapatkannya. Sungguh ganas sistem yang dibangun berdasarkan kompetisi.
Pertempuran masih berkobar dalam kepalaku, saat kami melewati deretan rumah-rumah diselingi pepohonan yang cukup besar. Ada yang lain dari sekedar tampakan pepohonan biasa, di lingkar batang atasnya tampak melilit tali tambang putih yang cukup besar dan menjalar ke pohon di sebelahnya. Wahana Treetop sedang dalam perampungan! Itu yang kutangkap dari suguhan yang ada di depan mataku. Katanya, bukan cuma wahana ini yang akan di bangun, masih ada waterboom yang rencananya mengisi sisi selatan Somba Opu. Nantinya ribuan meter kubik air akan digunakan untuk menjamin beroperasinya wahana ini. Volume air yang begitu besar di tengah macetnya aliran air di pipa-pipa PDAM menuju pemukiman warga bahkan di musim penghujan sekali pun.
Kami bergegas melewati deret rumah dan pohon-pohon itu, beberapa pasang mata mulai mengarah ke motorku yang sengaja berjalan lambat, belum lagi teror spanduk di depan tadi, sungguh membuatku tak nyaman untuk berlama-lama. Barisan rumah penduduk akhirnya mulai terlihat dan kubangan air ditambah jalan becek makin menyulitkan kami untuk bergegas keluar dari kompleks.
Kami mengakhri perjalanan dengan rasa kesal di dada, mengapa kami mengalah pada paranoid ini. Seakan semua orang bagaikan Agen Smith dalam film The Matriks, yang terus mengawasi dan mencurigai. Kami pun meninggalkan Somba Opu yang masih basah oleh hujan di petang itu. Ia sedang dicabik oleh keserakahan.
- Share/Bookmark