Kontinum.org – Jurnal Antiotoritarian Online

Teks

SETAHUN ACFTA DAN KEBOHONGAN PERTUMBUHAN

January 8, 2011 by Ishmael Yahalah in Artikel, Redaksioner with 0 Comments

Januari 2011 ini menandakan setahun berjalannya Zona Perdagangan Bebas antara ASEAN dan China atau ACFTA diberlakukan secara resmi. Dalam seremoni setahun yang lalu menandai dimulainya kesepakatan ini, para pejabat negara-negara ASEAN meyakinkan bahwa ACFTA akan menguntungkan semua pihak. Pemerintah China juga secara agresif memberikan pernyataan-pernyataan optimistik bahwa zona dagang ini akan mendinamisasi perekonomian di kedua wilayah.

Sementara di Indonesia, menanggapi kritikan dan penentangan banyak pihak, Menteri Perdagangan Mari Pangestu lebih banyak menakut-nakuti publik tentang konsekuensi politik dan ekonomi yang mendera jika Indonesia tidak mengikut pada kesepakatan tersebut.

Tetapi itulah tugas semua pemerintah yang eksis, memastikan eksploitasi dan dominasi tetap stabil dengan memakai seluruh cara yang memungkinkan. Kenyataan yang terjadi jelas berkebalikan dengan seruan dan pernyataan para pejabat. Perdagangan bebas tidaklah memperbaiki kualitas kehidupan normatif mayoritas masyarakat di semua wilayah konsensi dagang.

Sebagai contoh, di Filipina angka kemiskinan naik 7 persen menjadi 50 persen selama 2010, setahun setelah ACFTA berjalan. Ini berarti setengah dari populasi penduduk Filipina atau sekitar 9,4 juta jiwa berada di garis kemiskinan.

Di Vietnam, laporan media menyebutkan bahwa aturan upah murah semakin digalakkan. Ini dimaksudkan untuk terus memancing investasi masuk ke negeri Paman Ho itu. Dengan ‘kebijakan’ tersebut, Vietnam kini menjadi tempat paling nyaman berinvestasi karena biaya produksi seperti upah buruh bisa ditekan secara ekstrim.

Kondisi di China sedikit berbeda. Kantor berita Xinhua melaporkan bahwa Wakil Perdana Menteri Li Keqiang mengumumkan ekonomi China di tahun 2010 tumbuh 10,3 persen. Lantas apa arti pertumbuhan ini?

Di China, ‘pertumbuhan’ juga dibarengi gelombang protes pekerja yang terus menguat di tahun lalu. Protes tersebut tentu saja karena situasi yang dialami oleh populasi yang dieksploitasi demi ‘pertumbuhan ekonomi’. Serangkaian pemogokan tak resmi (wildcat strike) terutama Mei hingga Juni, bergolak di pabrik-pabrik raksasa seperti Honda. Situasi ini bermakna ganda, pertama sebagai manifestasi penolakan pekerja atas eskploitasi yang semakin mengganas di negeri Ketua Mao itu. Sementara kedua, dipilihnya jalur wildcat, menandakan bahwa pekerja kini juga bergerak melawan kontrol serikat-serikatnya dan Partai Komunis China.

Sistem kerja dan pengupahan yang mengganas di China telah mendorong alienasi dan eksploitasi ke titik ekstrim. Kasus-kasus bunuh diri akibat tekanan kerja dan kondisi ekonomi mengemuka tahun lalu. Harian Asian Times bahkan melaporkan bahwa masyarakat China telah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, menyusul memburuknya perekonomian dan kondisi hidup di lapisan bawah.

Bagaimana di Indonesia? Meskipun Kabinet Yudhoyono melalui Menteri Koordinator Perekonomian dan Investasi Hatta Rajasa merilis pernyataan bombastis bahwa pemerintah telah berhasil mendorong perekonomian tumbuh sebesar 6,2 persen, hal ini segera direspon dengan kritikan keras dari banyak kalangan.  Ekonom di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI menyoroti metode pemerintah dalam menyimpulkan angka-angka statistik tersebut, sebagai “upaya untuk menyisihkan fakta-fakta demi pencitraan pemerintah”. Sementara elit-elit agama dan kalangan LSM menyimpulkan pemerintahan SBY sebagai pembohong.

Kenyataan yang ada memang berkebalikan dengan pernyataan pemerintah. Menurut Institute of Ecosoc, setiap tahunnya perempuan yang meninggal saat melahirkan mencapai 5 juta jiwa, atau setidaknya 2 orang ibu setiap jamnya. Sementara itu ada 1,67 juta anak balita menderita busung lapar. Situasi ini belum berubah sedikitpun dan terus saja bertambah. Bahkan program neo-pembangunan (new-developmentalism) yang kini dikemas sebagai Millenium Development Goals (MDG’s) saja menilai kondisi normatif kehidupan masyarakat di Indonesia belum membaik dengan sejumlah keterbatasan dan kekurangan dalam kebutuhan dasar mayoritas penduduk.

Lalu…?

Ada persamaan antara Wakil Perdana Menteri Li Keqiang dan Menko Ekuin Hatta Rajasa mengumumkan pertumbuhan ekonomi yang dicapai masing-masing. Kedua-duanya membual bahwa pertumbuhan ekonomi selalu menandakan perbaikan, kenaikan kualitas dan kondisi hidup masyarakat. Jelas tidak, karena pertumbuhan ekonomi dalam kapitalisme adalah pertumbuhan ekonomi bagi kapitalis, dan bukan kita. Tak pernah ada yang namanya efek menetes ke bawa (trickle down effect) seperti yang dijanjikan kapitalisme sejak Pembangunan era 70-90an, hingga pencapaian global ala MDGs di era 2000-an ini.

Meskipun merespon situasi ini, banyak tekanan dan protes diarahkan kepada pemerintahan SBY, namun untuk kesekian kalinya, hal tersebut selalu berpijak bahwa error yang menganga ini terletak pada kepemimpinan seorang SBY atau kabinetnya. Atau pada moral dan ketidakberpihakan, dan bukan pada sistem yang terintegrasi –kapitalisme.

Tentu saja kemiskinan, eksploitasi dan keterasingan (alienasi) ekstrim bukanlah hal mengherankan dalam kapitalisme, melainkan sebuah konsekuensi logis atas penerapannya. Setelah paska-krisis 2008 yang belum sepenuhnya pulih, para kapitalis terus berupaya penuh untuk tidak lagi menghadapi situasi yang sama. Bayang-bayang krisis di 2011 dilaporkan masih menganga, dan tugas setiap pemerintah di negara masing-masing adalah memulihkan kapitalisme, mengembalikan kehidupan eksploitatif kembali ke relnya.

Perjuangan melawan penindasan, eksploitasi, kemiskinan, keterasingan, dan kerusakan lingkungan adalah perjuangan melawan kapitalisme dan negara!

Tagged ACFTA, , pasar bebas

Related Posts

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Call For Papers – Jurnal Kontinum
Tulisan Terbaru
Flash News
Terbitan Terkini !