“Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.” [John F. Kennedy]
oleh : Poldari Kabul
Tentu kalimat di atas sangat sering kita dengarkan dalam forum-forum ilmiah, dikutip di berbagai artikel di media massa, atau dimana pun yang bersinggungan dengan pidato mantan presiden Amerika Serikat itu. Ungkapan Kennedy tersebut telah membius jutaan orang untuk menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotismenya. Bukan hanya di AS, tapi ke seantero planet ini.
Kali ini kita akan mempertanyakan kembali pemberian negara terhadap mereka yang disebut rakyat atau warga negara. Dikatakan bahwa rakyat tidak harus menuntut yang telah diberikan kepada tanah airnya. Juga ditekankan bahwa hubungan yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya bersifat simbiosis-mutualisme (saling menguntungkan). Apakah kenyataannya seperti itu? Mungkinkah hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah adalah bentuk lain dari sistem majikan pekerja?
Sebuah Rekonstruksi Realitas
Daeng Sangkala adalah seorang tukang becak. Kini usianya 45 tahun. Dua pertiga hidupnya dihabiskan untuk menjalani pekerjaannya. Selama ia memulai nafas pertamanya hingga sekarang, Daeng Sangkala merupakan warga negara yang taat. Ia tidak pernah melanggar hukum serta menunaikan segala kewajibannya. Akan tetapi Dg. Sangkala menjalani kehidupannya dengan tambal sulam. Untuk makan sehari-hari dan membayar kontrakan rumah, ia mesti menghutang yang dibayarkan setelah magoyang becak.
Penghasilan rata-rata Dg. Sangkala berkisar 30 ribu rupiah per harinya. Dari pendapatannya itu, ia sisihkan 12 ribu untuk makan sehari-hari dan uang kontrakan yang ditempatinya bersama empat rekan seprofesinya.
Sebagai seorang perokok, Daeng Sangakala menghabiskan sebungkus rokok filter sehari seharga 8 ribu sebungkusnya. Sementara 10 ribu disimpan untuk istri dan dua orang anak di kampung. Setiap 2 bulan sekali Dg Sangkala mengirimnya.
Anak Dg Sangkala sekarang duduk di bangku kelas 2 dan 4 Sekolah Dasar. Kiriman dua bulanannya untuk keluarga hanya 600.000 rupiah. Jumlah itu harus dikurangi untuk biaya transportasi bolak balik ke kampung sebesar 50.000 rupiah.
Untunglah Dg Sangkala tidak perlu mengeluarkan uang cicilan becak, karena sejak 5 tahun yang lalu becaknya telah ia lunasi. Meski begitu, Dg Sangkala harus menyetor retribusi 15.000 rupiah setiap bulan kepada pemerintah kota dengan alas an ketertiban dan pendapatan asli daerah (PAD). Sebagai warga negara yang baik Dg. Sangkala tidak pernah menunggak pembayarannya, untuk itu ia mesti mengurangi kiriman setiap dua bulan terhadap keluarganya sebesar 30.000 rupiah.
Dengan uang 550.000 rupiah yang datang rutin setiap dua bulan, istri serta anak-anak Dg. Sangkala menjalani kehidupannya. Masih beruntung, mereka memiliki sepetak kebun kecil hasil warisan, sehingga bisa memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari.
Walau pemerintah provinsi menjanjikan penggratisan pendidikan, tapi nyatanya itu hanya mencakup biaya SPP saja. Sementara untuk buku, pakaian seragam dan lainnya masih harus dikeluarkan oleh orang tua siswa tiap tahunnya. Karena seperti halnya orangtua pada umumnya, Dg. Sangkala pun ingin melihat anaknya mengenyam pendidikan lebih tinggi. Ia pun rela menyisihkan 600.000 rupiah tiap tahunnya untuk uang pakaian, buku dan lembar kerja siswa. Hal itu tetap dijalani agar buah hatinya tidak seperti dirinya, menjadi tukang becak juga.
DG. SANGKALA HANYALAH satu dari puluhan bahkan ratusan juta penduduk Indonesia yang dijebak dalam kekuasaan negara mengelola sistem ekonomi. Penghasilannya hanyalah 900.000 rupiah per bulan, yang bila diakumulasikan selama setahun hanya mencapai 10,8 juta rupiah. Menurut undang-undang, pendapatan di bawah 25 juta rupiah dikenakan pajak penghasilan (PPh) 5%. Maka setiap tahunnya Dg. Sangkala mesti membayar pajak 240.000 rupiah ke negara.
Sebagai seorang perokok aktif, dia pun harus menambah pemasukan negara melalui pita cukai yang telah dimasukkan dalam harga tiap hisapannya. Sebungkus rokok yang dibelinya tiap hari sebesar Rp. 8.000 dikenakan pita cukai 50%, untuk itu tiap harinya Dg. Sangkala membayar ke negara sebesar 4.000 rupiah atau Rp 120.000 per bulan. Dengan begitu, negara menyedot penghasilan Dg. Sangkala tiap tahunnya sebesar 1,4 juta rupiah. Sebuah angka yang sangat besar untuk warga yang hanya bekerja sebagai tukang becak.
Tentu tidak hanya sampai disitu. Negara juga menggerogoti pendapatan Dg. Sangkala melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Walau hanya tukang becak dia mendapat warisan dari orang tuanya sebuah rumah sederhana dan sepetak kebun kecil. Setelah dikalkulasikan Nilai Jual Objek Pajak sebesar 50 juta rupiah. Dikenakanlah PBB setiap tahun sebesar 100.000 rupiah. Belum lagi retribusi becak yang dibayarkannya tiap tahun sebesar 180.000 rupiah/tahun, yakni Rp. 15.000 tiap bulannya.
Nah, setelah dari semua sumbangsih Dg. Sangkala sebagai warga negara untuk kemajuan ekonomi negeri, apa yang telah diberikan negara untuknya? Dg. Sangkala yang tak pernah melanggar hukum negara yang dicintainya justru semakin terbatasi dalam mencari makan. Berbagai peraturan membuatnya semakin kesulitan sebagai pengayuh becak. Mimpinya untuk melihat kedua anaknya meraih pendidikan setinggi-tingginya melalui pendidikan gratis, hanyalah janji pemilu.
Dan masih banyak lagi kisah yang dialami Dg. Sangkala mengenai kesejahteraan, harapan dan mimpi-mimpinya dalam hidup yang dijalaninya.
Kesimpulan
Ini hanyalah contoh sebuah deskripsi dari seorang warga negara, yang dengan susah payah melayani kehidupannya sendiri, namun juga masih dituntut untuk menjadi warga negara yang baik. Warga dipaksa taat serta mematuhi kewajiban, sementara hak untuk menikmati stimulus dan subsidi serta layanan sosial, yang merupakan perwujudan timbal balik hubungan negara warga, hanya omong kosong besar[1].
Kalau mengacu dari perkataan Kennedy maka Dg. Sangkala seharusnya tidak pantas menuntut dan mempertanyakan apa yang negara berikan padanya. Sebaliknya, ia justru dituntut untuk mempertanyakan kembali sudah cukupkah yang dilakukannya kepada negara. Sungguh aneh kan?
Begitulah, satu dari sekian banyak kisah tentang betapa ganas negara mengorganisir sistem ekonomi kapitalisme dengan cara mengekspolitasi masyarakat yang disebut warga negara.
[1] Mengenai subsidi dan pajak, lihat tulisan Kebohongan Alur Pajak dan Subsidi di edisi Serum sebelumnya No #1 Juli 2010
- Share/Bookmark