Kontinum.org – Jurnal Antiotoritarian Online

Teks

MENUJU KOTA DUNIA (1)

January 17, 2011 by Alisa Dita Naimpian in Artikel with 0 Comments

Sebuah Introduksi Terhadap Peradaban Modern
Bagian Pertama

 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita terus-menerus dicekoki dan diteror dengan berita-berita tentang Site Plan atau rencana rupa Kota Makassar kelak. Seperti yang tengah kita alami saat ini, di berbagai tempat ada banyak perubahan tata kota dan insfrastuktur yang bertumbuh subur nan pesat. Pelebaran jalan, pembangunan flyover, pembangunan bandar udara baru berskala internasional, pembangunan mall bawah tanah di Karebosi, Reklamasi Pantai Losari, kawasan apartemen dan permukiman mewah, pusat-pusat perbelanjaan baru, wahana rekreasi raksasa Trans Kalla, serta gedung perkantoran yang menjulang.

Belum lagi yang tengah berjalan seperti Center Point of Indonesia, sebuah megaproyek ambisius seluas 157 hektar di pantai barat yang merupakan lanjutan reklamasi anjungan Losari, dan rencana proyek besar lainnya seperti pembangunan monorel bandara-barombong, Jembatan Kebangkitan, Masjid Terapung, waterboom, stadion olahraga, rumahsakit internasional serta proyek lainnya yang tentu saja memakan anggaran yang luarbiasa pula. Semuanya sekejap berdiri kokoh di tengah kota ini.

Impian untuk menjadikan Makassar sebagai kota dunia, tidak hanya slogan yang perlahan diwujudkan oleh serangkain proyek tersebut. Keikutsertaan Kota Makassar di World Cities Summit 2010 di Singapura, Juni lalu makin melangkahkan kota ini menuju impian dunia yang disadur dari wahana arsitektural negara lain. Mengkonstruksi kota ini ala Dubai, Singapure, India, Shanghai adalah berita gembira sebagai pijakan baru peluang investasi.

Melalui ilustrasi dan imaji yang futuristik, proyek-proyek ini membelalakkan mata kita. Seakan-akan kelak, inilah rumah mewah yang akan kita tinggali. Seakan-akan juga, semua itu milik kita. Kita pun menantinya dengan luas hati dan penuh bangga. Di samping itu, makin tertanam pula pandangan akan kemajuan masa depan yang diisyaratkan oleh ramainya megastruktur tinggi menjulang dan kerlap-kerlip lampunya.

Untuk semua impian-impian semu ini, kita patut mempertanyakan hal mendasar: Butuhkah kita dengan proyek-proyek tersebut? Kepada siapakah sebenarnya diperuntukkan?

Hal ini akan menjadi tawaran konkret dibanding pro-kontra yang ada selama ini yang tak lebih sebagai sebuah pertarungan antar kubu borjuis dan elit politik, yang masing-masing disokong oleh legitimasi kaum intelektual yang bertugas mengemas secara ilmiah dan menutup setiap celah dan borok proyek ini.

Salah satu (dan bukan satu-satunya) yang perlu dicermati dari proyek-proyek ini adalah besarnya anggaran publik yang ditelan. Hal ini sangat ironis mengingat situasi ekonomi yang memburuk disertai ambruknya fasilitas pendidikan, sakitnya sistem kesehatan, dan buruknya layanan publik. Sebuah situasi yang justru hanya direspon enteng oleh pemerintah dengan berspekulasi bahwa keadaan ini adalah efek dari dari tidak memadainya kas dan anggaran. Hal ini tentu saja adalah bohong besar, mengingat pembiayaan proyek-proyek ini justru sebagian besar berasal dari uang publik (APBN/APBD).

Proyek yang sedang berjalan saat ini, misalnya Center Point of Indonesia, menguras anggaran hingga 900 milyar hingga 1,2 trilyun rupiah! Pada tahap awal 23 milyar rupiah diambil APBD Sulawesi Selatan tahun 2009 untuk membiayai ambisi ini. Tahun 2010, ada 20,5 milyar rupiah dianggarkan (berarti belum terpakai) khusus untuk merintis pembangunan jalan dan jembatan menuju lokasi inti. Hal ini belum termasuk 100 milyar tiap tahunnya yang diambil dari APBN.

Sementara proyek lainnya, Reklamasi Losari yang mencakup pembangunan tiga pelataran baru Pantai Losari menguras hingga Rp. 39,75 milyar yang juga berasal dari APBD melalui Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar.

Dari dua proyek ini saja, total anggaran publik yang dibajak untuk membangun “infrastruktur bisnis orang kaya” mencapai 50 milyar rupiah!

Jumlah ini tentu saja membengkak karena sebelumnya telah banyak proyek-proyek seperti pelebaran jalan, pembangunan jembatan layang (flyover) pun menelan anggaran hingga 50 milyar. Sementara itu lebih dari 100 milyar rupiah anggaran publik juga dihamburkan untuk membiayai perampasan ruang publik Karebosi menjadi kawasan bisnis privat yang selain menghilangkan akses luas masyarakat juga merubah fungsinya.

Jika ditotalkan, anggaran pembangunan infstruktur ini mencapai Rp 1,5 trilyun. Jumlah fantastis ini setara atau dapat membiayai 10.000 gedung sekolah, 15.000 rumah layak huni, atau membangun 30.000 puskesmas baru! Kita bisa membandingkan betapa berbedanya nilai guna yang dihasilkannya.

Tetapi apa yang kami paparkan bukanlah semata masalah uang dan anggaran publik yang dihamburkan untuk membuat orang kaya makin kaya, dan kaum elit makin berkuasa.

Dari semua itu, ada pembenaran umum yang dilempar sebagai dasar argumentasi proyek-proyek raksasa ini. Bahwa proyek ini akan memberi keuntungan dan pemasukan bagi kas pemerintah demi perbaikan pelayanan publik, membangun peluang investasi, dan pembukaan lapangan kerja. Tapi realistis saja, bukankah sejak dulu sistem ini tidak pernah menjawab realitas sosial di masyarakat yang semakin terpuruk?

Kenyataannya, ilusi-ilusi tersebut dibangun dengan merampas hak hidup sebagian masyarakat yang bernaung dan mencari penghidupan. Pembangunan CPI misalnya, dimana tahap awal pembangunannya saja telah mengorbankan ratusan nelayan dan pencari kerang yang sehari-harinya menggantungkan hidup di sekitar wilayah Mariso yang kini ditutup dan akan ditimbun itu. Perlahan pula, akses nelayan di seluruh pesisir pantai tersebut akan diputus. Ini belum termasuk rencana penggusuran penduduk miskin di sekitar lokasi yang dinilai kumuh dan mengganggu estetika dan desain proyek. Ini adalah proses proletarianisasi, penghilangan alat produksi yang menjebak para nelayan maupun masyarakat miskin lainnya untuk menjadi pekerja.

Privatisasi pesisir pantai ini menghilangkan ruang publik, ruang yang seharusnya dapat diakses dan dinikmati secara cuma-cuma oleh semua orang. Bahkan ke depan, panorama ‘matahari terbenam’ yang indah tersebut hanya akan didapatkan jika ditukar dengan secarik karcis masuk.

Selain itu, semua proyek pembangunan juga beresiko dalam hal lingkungan, sesempurna apapun desainnya dikemas. Masih ingat amblasnya tanah Jakarta yang disebabkan tekanan pembangunan? Bukankah kota ini juga sedang berjalan ke arah yang sama menuju sebuah kehancuran?

Mari kita kembali pada pertanyaan awal. Apakah benar kita menginginkan sebuah Kota Dunia? Menginginkan sebuah dunia dimana kita hanyalah bidak-bidak yang dikendalikan untuk menjaganya tetap berjalan?

Saat kita menolak dan melawan semua ini, kita dengan mudah dapat dituduh melawan kepentingan umum atau berkesadaran rendah akan kemajuan kota. Di samping itu, dengan melimpahnya anggaran yang dibajak dari dana publik, yang dikuras dari setiap kerja kita, menegaskan kuatnya fungsi negara (dan pemerintahnya) dalam memfasilitasi kapital.

Ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan resistensi yang (lebih) kuat. Resistensi adalah pondasi penting bagi ancaman kehilangan sumber kehidupan yang jauh lebih berharga, iming-iming masa depan cerah yang tentu saja mesti dipertanyakan.

Jika semua ini justru makin memperluas sekat antara gubuk dan beton, maka kita perlu memperbesar resistensi. Resistensi yang hadir bukan karena watak yang (konon) diturunkan secara primordial, namun oleh kondisi objektif yang harus dihadapi. Resistensi yang tidak dapat dinilai hanya dari secuil fenomena yang dibentuk oleh media massa borjuis dan pendukungnya yang lebih banyak menggerutu tentang ‘kekerasan’ dalam sekilas tayangan pendek yang menodai citra sebuah kota. Resistensi  yang dimaksud adalah berperang melawan ketertindasan, kebosanan dan kedangkalan hidup.

Pembuatan ‘Kota Dunia’ ini telah menyebabkan lenyapnya akses hidup. Pula, dengan begitu mereka telah menuliskan masa depan tak layak. Ini berarti jalur yang tersisa hanyalah melawan. Bukankah kita jauh lebih membutuhkan ruang hidup ketimbang citra tentang kota damai dan modern yang mengilusi?!

[dimuat dalam Serum #2 Desember 2010]

Tagged , , ,

Related Posts

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Call For Papers – Jurnal Kontinum
Tulisan Terbaru
Flash News
Terbitan Terkini !