Saturday 19 March 2011

Subscribe by RSS Subscribe by Email

MENGAIS PASIR DI POJOK AMBISI

Di sebuah anjungan pinggiran pantai, matahari menantang garang di langit yang berselimut karbon dioksida. Seberang jalan raya, beberapa alat berat sedang bekerja mengeruk dan menimbun, asap hitam keluar dari cerobongnya, bercampur debu dari truk-truk raksasa pengakut pasir timbunan. Sebuah megaproyek bertitel Centre point of Indonesia (CPI) sedang digarap. Kawasan yang ditasbih menjadi “landmark” Sulawesi Selatan ini rencananya akan dibangun di atas luasan 200 hektar dengan investasi triliunan rupiah.

Dari atas pagar pipa-pipa besi terlihat seorang perempuan menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan serta tubuh dibalut busana sederhana sedang sibuk mencari kerang di laut yang tercemar sampah organik dan sampah plastik. Nenek yang kelihatan masih cukup sehat itu akan segera menyelesaikan pekerjaannya begitu air mulai pasang.

Zahrah Daeng Rabi, nenek dari beberapa orang cucu itu naik melalui sela anjungan retak dengan pakaian yang masih basah. Di sampingnya sebuah kaleng peyot bekas mentega, nyaris kosong dari kerang-kerang kecil yang beberapa waktu lalu masih melimpah di tempat tersebut. Di antara botol bekas air kemasan yang berserakan, kami berbincang singkat dengannya.

Sudah berapa lama ibu mencari kerang?
Sudah lama, mungkin sepuluh tahun lebih.

(sambil merapikan peralatan pengais pasir berupa sebuah besi pipih berujung lancip menyerupai tombak ke dalam sebuah karung, tidak lupa gabus 1×1 m berbentuk segiempat yang biasanya digunakan menampung kerang sebelum dimasukkan ke dalam kaleng bekas mentega.

Dari mana saja para pencari kerang di pantai ini?
Biasanya datang dari Bonto duri, bonto rannu, rajawali, nuri.

Apakah anda memiliki pekerjaan lain selain mencari kerang?
Tidak ada. Ini satu-satunya sumber penghidupan saya.

Kebutuhan sehari-hari dari hasil pencarian kerang ini?
Iya. Saya tinggal sendiri. Penjualan kerang ini saya gunakan untuk membeli beras, kopi dan rokok.

Berapa orang yang biasanya mencari kerang di tempat ini?
Sudah sedikit, tinggal 50 orang, dulu sampai ratusan. Sekarang dalam kelompokku cuma lima orang, perempuan semua.

Apakah ibu mengetahui apa yang akan dibangun di area ini?
Tidak tahu persis. Tapi yang jelas seluruh tempat ini akan segera ditimbun.

(ia membetulkan letak topi pandan agar sedikit melindunginya dari terik matahari. Dari dalam buntelan kecil, ia mencari-cari sesuatu, ternyata sebungkus rokok kretek. Diambilnya satu batang, kemudian dinyalakannya. Barangkali untuk mengusir penat.

Sebentar lagi gedung-gedung pencakar langit hasil tawar-menawar investor dan pemerintah lokal akan segera menggeser ratusan pencari kerang yang menggantungkan hidupnya selama puluhan tahun pada pesisir pantai losari.

Dan tak sedikitpun perempuan berumur lebih dari setengah abad ini mengetahui bahwa sebentar lagi tempat ini akan berubah menjadi kawasan pusat bisnis dan perkantoran, hotel transit, masjid mewah, lapangan golf, mall, restoran, hotel dan infrastruktur mono rel dan jembatan layang. Sebuah proyek ambisius pemerintah daerah makasar yang menimbun wilayah pesisir untuk mengundang para cukong dan pebisnis besar.

Sudah berapa lama penimbunan ini dilaksanakan?
Saya kurang ingat, mungkin 3 atau 4 bulan yang lalu.

Apakah penimbunan ini mengurangi areal mencari kerang?
Ya. Dulunya, tempat cari kerang luas sekali sampai di sana (sambil menunjuk ke arah sebuah jembatan diujung lain pantai) , tapi sekarang makin sempit setelah penimbunan.

Apakah sebelum dan setelah penimbunan ada perbedaan hasil tangkapan?
Ya, ada. Sewaktu belum ditimbun bisa 5 sampai 6 kaleng mentega ukuran 3 kilogram, sekarang cuma 1-2 kaleng.

Berapa harga kerang ini?
Dua kaleng kerang lima belas ribu rupiah, juga tergantung pada banyaknya kerang yang kami peroleh. Ketika banyak hasil tangkapan, biasanya harga turun.

Apakah dalam keputusan pembangunan ini melibatkan masyarakat?
Tidak, tidak ada pembicaraan dengan pencari kerang kalau pantai ini mau ditimbun.

Ada ganti rugi dari penghilangan mata pencaharian ibu?
Ada isu yang beredar tentang janji ganti rugi, tapi tidak jelas.

Antara sesama pencari kerang pernah membicarakan tentang pembangunan ini?
Kami semua bertemu saat di laut, tidak ada pembicaraan khusus mengenai ini.

Ibu pernah memprotes pembangunan ini?
Pernah. Kami demonstrasi ke tol km 4. Disuruh pimpinan organisasi.

(mengucap permisi dalam bahasa makassar karena akan segera ke tempat penjualan kerang kemudian bergegas pulang. Satu hal baru saja kusadari, ternyata sedari tadi nenek ini menyapa kami dengan sapaan ‘nak’. Sebuah sapaan yang sangat teduh di tengah cuek sosial orang-orang perkotaan, terlebih lagi pada orang yang baru saja dia kenal. Namun sebelum kami benar-benar beranjak dari tempat itu,  satu  pertanyaan terakhir terlontar begitu saja).

Kalau sudah tidak diperbolehkan mencari kerang, apa yang akan ibu lakukan?
Mencari pekerjaan lain, teman-teman kebanyakan beralih menjadi buruh bangunan. Dalam umur saya yang sudah tua, sudah tidak mungkin mencari pekerjaan bagus, saya akan beralih menjadi pencari botol atau plastik bekas.

(terhenyak).

Pembangunan (penguasa menggantinya dengan semantik investasi) telah membius publik dengan janji kesejahteraan dan lapangan pekerjaan. Sebuah ironi melihat yang sebaliknya bahwa investasi hanya menguntungkan segelintir elit politik dan investor, sementara orang miskin semakin terdesak. Perampasan ruang publik akibat rakusnya kapitalisme telah membuat mereka kehilangan sumber penghidupan serta memutus jalinan pertemanan sesama pencari kerang. Tepat di depan mata, proletarisasi massal yang memaksa kita menjual tenaga kerja, terus berlanjut …

8 Januari 2011

Tweet
  • Share/Bookmark

Mari berdiskusi

Hapus Masyarakat Berkelas!