Kontinum.org – Jurnal Antiotoritarian Online

Teks

KAUM MUDA vs NEGARA

October 21, 2010 by in Artikel, Reportase with 4 Comments

Protes Anti-Pemerintah di Makassar

Senin, 18
Tanggal 18 Oktober, aksi protes pertama disulut oleh sekelompok mahasiswa di Jalan Urip Sumiharjo, salah satu poros vital yang ramai di Makassar. Aksi ini memprakondisikan aksi-aksi protes di hari berikutnya. Kabar tentang kedatangan Presiden SBY ke Makassar menjadi pemicu untuk keluar dari kampus.

Para mahasiswa menentang kedatangan Presiden Yudhoyono yang diagendakan untuk membuka pertemuan para Gubernur seluruh Indonesia di sebuah hotel mewah serta meresmikan berbagai proyek raksasa yang dimaknai sebagai ekspansi kapital di daerah ini.

Dalam protes hari Senin (18/10), mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) menghentikan mobil pengangkut bahan bakar milik Pertamina, untuk digunakan sebagai podium mimbar bebas dan blokade jalan. Aksi blokade ini membuat aparat polisi bergerak membubarkan protes. Dengan cepat aksi protes yang awalnya biasa-biasa saja berubah menjadi perang jalanan.

Mahasiswa yang hanya bersenjatakan batu seadanya bertahan dari tembakan polisi yang over acting. Batu dan benda-benda keras melayang mengarah aparat. Dua buah mobil aparat yang selalu dipakai untuk membubarkan aksi-aksi mahasiswa sebelumnya, dihantam dan dirusak para pemrotes.

Para mahasiswa pemrotes terus menerus melempari pasukan bersenjata lengkap itu dengan batu yang dipungut di sekitar lokasi bentrokan. Polisi akhirnya kewalahan menghadapi energi mahasiswa dan dipukul mundur ke arah barat melintasi Universitas 45.

Di saat bersamaan mahasiswa Universitas 45 juga tengah melakukan aksi protes menentang pemerintahan SBY. Mendapatinya sebagai musuh bersama, mahasiswa 45 pun menghujani polisi dengan batu dan benda-benda keras lain. Polisi akhirnya mundur ke arah lebih jauh, hingga ke ujung timur fly over.

Meski begitu dalam kejadian ini polisi menangkap 4 mahasiswa pemrotes. Kondisi yang baru saja mereda akhirnya memicu kembali kemarahan mahasiswa.

Aksi pembalasan dilakukan dengan juga menangkap seorang polisi yang melintas di depan kampus. Polisi tersebut digiring ke dalam kampus untuk dibarter dengan empat orang kawan mereka. Kondisi ini akhirnya memaksa biroraksi kampus dan pejabat kepolisian daerah memenuhi tuntutan mahasiswa untuk melepaskan kawan mereka.

Selasa, 19 Oktober
Hari kedua protes direncanakan lebih meluas. Kabar kunjungan presiden seperti biasa disambut dengan unjuk rasa dan aksi-aksi protes lainnya. Setelah di-prakondisi-kan sehari sebelumnya, aksi protes pun pecah di berbagai titik dengan bentuk yang bervariasi.

Dua jalan utama menuju pusat Kota Makassar yang juga lokasi beberapa kampus, Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Sultan Alauddin, menjadi sasaran aksi dan pemblokadean jalan. Ini jelas bertujuan untuk menghalau dan menghambat iring-iringan pejabat negara yang akan melintas.

Di Kampus Gunungsari Universitas Negeri Makassar, ratusan mahasiswa berusaha mendekati ring satu di Clarion Hotel, sebuah hotel mewah tempat berlangsungnya pertemuan antar Gubernur se-Indonesia. Aksi unjuk rasa ini awalnya bertujuan menghadang rombongan Presiden SBY untuk sekedar membentangkan spanduk yang berisi pernyataan. Petugas yang berjaga, yang terdiri dari polisi dan tentara, tidak membiarkan peserta unjuk rasa mendekat. Para mahasiswa dipaksa mundur tanpa kompromi.

Besarnya tekanan mahasiswa untuk menyatakan sikap tidak mampu dibendung oleh pimpinan-pimpinannya. Elemen-elemen radikal telah mendorong aksi normal ini berubah menjadi perang jalanan yang sungguh tidak berimbang. Mahasiswa versus polisi dan tentara.

Di Jalan Pendidikan, sebuah jalan yang tidak terlalu ramai yang berada persis di samping kampus, mahasiswa bertahan dengan batu, kayu dan bom molotov. Sementara aparat polisi dan militer menggunakan perangkat standar perang. Dalam situasi ini, mahasiswa diuntungkan oleh proyek renovasi bangunan kampus yang menyediakan suplai batu dan materi lain yang memungkinkan untuk tetap bertahan melawan aparat negara. Menyusul bentrokan ini, setidaknya 9 orang mahasiswa ditangkap, meskipun malam harinya segera dibebaskan.

Rabu, 20 Oktober
Meskipun luput dari perkiraan bahwa hari ketiga ini adalah puncak dari rangkaian protes keras di Makassar, aksi-aksi protes tetap pecah di berbagai titik dengan eskalasi yang tidak seperti sehari sebelumnya.

Di hari ketiga ini, mobilisasi dan persiapan ditujukan untuk merespon seruan umum secara nasional untuk memperingati satu tahun periode kedua pemerintahan Yudhoyono dan Budiono yang memimpin Kabinet Indonesia Bersatu. Berbagai kelompok mengorganisir demonstrasi-demonstrasi dengan angle yang sama, mengecam pemerintahan yang berkuasa.

Di Jalan Sultan Alauddin, sebuah poros menuju Makassar, mahasiswa Universitas Muhammadiyah memblokade satu ruas jalan untuk menggelar mimbar bebas di depan kampus. Sementara itu di dua lokasi bentrokan hari-hari sebelumnya, yakni UNM dan UMI juga digelar aksi protes mengecam pemerintahan Yudhoyono dan kabinetnya.

Di depan kampus Universitas Hasanuddin, mahasiswa memblokade total jalan poros Perintis Kemerdekaan. Beberapa truk dipalang melintang untuk menghadang petugas dan kendaraan milik pemerintah. Saat sebuah mobil pemerintah berplat merah melintas, beberapa orang mencegatnya dan menghantam kaca depan dan belakang. Berselang beberapa waktu, kendaraan dinas pemerintah jenis pick up berwarna biru juga menjadi sasaran amukan para pemrotes. Saat kaca dan kap mobil hancur, beberapa orang kemudian membalikkannya. Selain kendaraan pemerintah, mahasiswa juga melakukan perusakan properti seperti billboard iklan dan traffic light.

Hingga sore, satu-satunya tujuan dan target mahasiswa dalam protes itu : berkonfrontasi dengan aparat negara, tidak tercapai. Polisi dan pihak keamanan lain tidak kunjung mendatangi titik aksi. Sayang sekali, mahasiswa terlalu lama pasif menunggu dan tidak aktif terhadap kendaraan operasional korporasi atau properti-properti kontrol seperti billboard dan lainnya.

Catatan Akhir
Aksi protes tiga hari berturut-turut di Makassar mesti dilihat sebagai ekspresi ketidakpuasan. Dalam beberapa hal, perang kali ini benar-benar melawan aparat negara dan negara itu sendiri, terlihat dari secara fisik dan organik serta legal formal dimana negara mempersiapkan sumberdayanya untuk mempertahankan kewibawaan pemerintahan yang sah. Meskipun ekspresi terbesar adalah pada figur pimpinan pemerintahan nasional dalam hal ini SBY dan Boediono, kita harus mengakui bahwa kemuakan masyarakat juga diarahkan pada parlemen, politisi dan elit-elit.

Ekspresi anti-kapital dalam protes selama tiga hari ini juga mencolok. Sebagaian besar kelompok mahasiswa mengetahui bahwa kunjungan Presiden ke Makassar adalah terkait agenda ekspansi kapital besar-besaran berupa peresmian proyek-proyek insfrastruktur bisnis. Sementara saat ini seluruh masyarakat dipaksa hidup dengan kondisi ekonomi dan sosial yang timpang.

Ekspresi ketidakpuasan, semenjak mahasiswa tidak lagi secara tegas berkontradiksi dengan aturan hukum seperti Undang-undang BHP yang telah dibatalkan, diarahkan ke pihak otoritas.

Dalam perkembangannya, pola perlawanan mahasiswa menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Dalam cakupan tertentu, terlihat mulai tumbuhnya desentralisasi gerakan. Memudarnya ‘kepemimpinan birokratik dan manipulatif’ adalah sebuah kemajuan, meskipun di sisi lain menunjukkan kendor dalam hal intensitas dan kualitas tekanan.

Di media massa maupun personal, tiba-tiba banyak yang muncul sebagai bijak bestari untuk sekedar mengutuk kekerasan, perusakan, blokade, dan ketidakjelasan arah aksi-aksi protes akhir-akhir ini.

Kami ingin menggarisbawahi bahwa analisa dan sorotan media massa seharusnya sudah lama dibuang ke tong sampah, disebabkan posisi politisnya yang kental. Sangat tidak fair untuk menghakimi dan menghujat metode-metode yang dibangun oleh kelompok mahasiswa ini sebagai sesuatu yang tidak menjauh dari simpati masyarakat luas, semenjak tujuan mereka bukanlah mencari simpati, tetapi justru sebaliknya secara sengaja melakukan konfrontasi dengan negara.

Dengan begitu, perjuangan mencari simpati masyarakat dikanalisasi melalui pemberitaan media massa dan opini mainstream. Ini jelas membangun keterpisahan dengan masyarakat luas.

Tentu saja, tak ada yang secara absolut benar dalam setiap kondisi, termasuk aksi-aksi vandalisme –yang meskipun kami tidak bermasalah dengan metode tersebut, tetapi kecenderungannya untuk bertransformasi menjadi sekedar fashion tentu tidak akan membawa perubahan apa-apa kecuali pemuasan hasrat individual yang temporer.

Kemiskinan visi dalam aksi-aksi protes keras seperti ini juga masih nampak yang merepresentasikan moral lama bahwa satu-satunya musuh adalah negara (dan dalam lingkup lebih sempit adalah pemerintah), sementara properti-properti korporasi masih dibiarkan aman-aman saja.

Anak muda tidak perlu harus selalu tampil ‘benar’ dan diterima, misalnya melalui aksi-aksi terpimpin yang simpatik untuk menyampaikan sikap ke pejabat pemerintahan atau talkshow di stasiun televisi dengan tampilan yang chick. Apa yang kita mesti bangun dan rawat adalah kultur perlawanan secara meluas, apapun dan bagaimanapun metode yang dipilih. Namun belum apa-apa, media massa dan segelintir orang, termasuk unsur-unsur pergerakan, lebih banyak menyalahkan anak-anak muda yang mulai terlibat dengan perlawanan, hanya karena taktik-taktik yang diusung terlalu jauh di luar batas melampaui nilai-nilai masyarakat modern. Mereka nampaknya lebih suka sebuah gerakan yang muncul dari dan karena kepemimpinan hegemonik mereka.

Oleh karenanya hujatan dan kemunafikan ini sebernanya membantu kita menganalisa bahwa ini menunjukkan ketakutan segelintir orang untuk tidak lagi didengar oleh kaum mudanya, yang menolak ikut-ikutan dalam jalur formal, normatif yang ujungnya mudah ditebak.

Para mahasiswa dan anak-anak muda juga mesti membangun dan memperkuat dirinya secara moral. Serangan kecaman dan hujatan terhadap aksi-aksi protes mahasiswa terutama yang berakhir dengan aksi-aksi kekerasan dan perusakan, bertubi-tubi datang dari otoritas, oposisi palsu, dan kelas menengah yang mapan dengan buku teks dan keistimewaannya secara sosial. Semua itu tidak perlu ditanggapi secara reaksioner, melainkan anak-anak muda mestilah berjuang untuk selalu melampaui semua yang mapan dan stagnan, termasuk segala strategi dan taktik yang diusungnya, serta mitos-mitos pergerakan.

Ya, para mahasiswa radikal dan anak muda butuh satu langkah nihilistik lagi untuk menjadi revolusioner!

Tagged , ,

Related Posts

4 Comments

  1. handaru pirataOct 28, 2010 at 2:06 pm

    Untuk setiap jiwajiwa muda yang rela mati agar dapat hidup secara total, hasrat dan perubahan ada di dalam dirimu. Biarkan terus menyala. Satu waktu engkau akan melemparkannya pada dunia yang semakin tua ini.

    Salut!

    http://www.katalis.tk

  2. ketapel batuOct 30, 2010 at 7:16 am

    yah ketika langkah dan aksi para anak2 muda melampaui apa yang telah dilakukan oleh para ” PIMPINAN ” mereka maka yakinlah hujatan dan cemohan akan datang silih berganti karena mereka tak pernah mempercayai aksi para anak2 muda itu . .. .

    Long life young guns, Long life insurrection

  3. !TOlOKNov 2, 2010 at 2:30 am

    yah, seperti itu memang.
    tapi kok anak muda identiknya selalu dengan siswa/mahasiswa yah?
    emang semua anak muda itu mesti sekolah/kuliah ?

  4. johan sitorusNov 5, 2010 at 6:41 pm

    kayaknya ngga deh.
    tidak mesti harus sekolah atau kuliah
    mungkin dilihat dari jiwa mereka yang masih muda.
    hehehe

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Call For Papers – Jurnal Kontinum
Tulisan Terbaru
Flash News
Terbitan Terkini !