Teks
MERDEKA ?
Redaksioner, 17 Agustus 2010
Akhir-akhir ini, terutama karena beriringan dengan peringatan 17 Agustus, masyarakat kembali dijejali dengan sebuah istilah keramat : merdeka! Headline surat kabar, berita di televisi hingga pernyataan personal di berbagai website dan jejaring sosial maya seolah-olah saling berlomba untuk membahas tema merdeka.
‘Kemerdekaan’ itu haruslah digugat sedalam-dalamnya karena histeria tersebut hanyalah upaya mengkerdilkan dan mendefisitkan maknanya. Kini, kebebasan dan kemerdekaan seringkali hanya diasosiasikan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meskipun telah banyak pernyataan yang menggunggat ke-belummerdeka-an bahwa “kita belum merdeka, karena masih banyak orang miskin” misalnya, tetap saja makna merdeka dipenjara dalam konteks nasionalisme. Dan karenanya kritik tersebut tidak lagi berbahaya bagi struktur kekuasaan esensial hari ini.
Hal ini meninggalkan lebih banyak pertanyaan ketimbang apa yang berhasil dijawabnya.
Gagasan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah konsekuensi historis dari pemilihan sebuah strategi melawan kekuatan kolonial : menjadi negara berdaulat. Strategi yang ditempuh oleh para republikan awal Indonesia tersebut layaknya fashion dalam sebuah era, sedang menjadi tren kala itu.
Dipengaruhi oleh liberalisme dalam politik serta kemunculan berbagai negara-bangsa modern, gagasan pembebasan nasional dengan mendirikan negara adalah gagasan mainstream yang mengemuka dan berpengaruh di seluruh dunia kala itu terutama wilayah-wilayah kolonial, dalam melihat bagaimana bentuk sebuah masyarakat baru setelah kekuatan kolonial hengkang.
Dengan mendeklarasikan diri sebagai negara yang berdaulat, keberadaan kekuatan kolonial di sebuah teritori menjadi delegitimated. Deklarasi ini juga menyuntikkan imajinasi baru di benak masyarakat akan sebuah identitas bersama: yang dijajah vs penjajah/kolonial. Pendelegitimasian akan mempermudah perjuangan diplomasi dan tekanan di tingkat internasional, sementara identitas kolektif diharapkan dapat mendorong perlawanan lebih luas sebagai hasil berbagi perasaan ‘senasib sepenanggungan’.
Sebagai strategi yang populer saat itu, memang wajar jika hal tersebut diadopsi oleh banyak pejuang antikolonial. Tapi itu bukanlah berarti satu-satunya model yang relevan dipraksiskan dalam perjuangan antikolonial yang pada akhirnya hanyalah menggeser kekuasaan asing dengan kekuasaan domestik yang sama esensinya.
Para republikan mungkin lupa, esensi tentang merdeka bukanlah terbebasnya bangsa dari penguasaan bangsa lain. Ini artinya ‘kemerdekaan’ telah distandarisasi dengan mensubordinasi kemerdekaan individu, komunitas-komunitas yang lebih dulu eksis dari negara, di bawah kontrol dan persepsi struktur kekuasaan baru : negara-bangsa berdaulat.
Karena membunuh hasrat dan imajinasi kita untuk merdeka dan otonom sebagai individu, komunitas atau kelompok, maka satu-satunya definisi merdeka yang dikenal adalah merdeka dari bangsa atau negara lain. Di luar itu dianggap subversif, ilegal atau kriminal karena melawan dominasi dan keberadaan negara.
Dalam kesadaran termaju, gugatan ke-belum merdeka-an pun hanya sampai pada aspek ‘merdeka dari kemiskinan’, ‘merdeka dari koruptor’, atau ‘merdeka dari keterbelakangan dan pemerataan pembangunan’. Jelas saja, kritisisme model ini adalah naif dan terlalu menyederhanakan masalah. Dengan kata lain, penyebab dari belum merdekanya masyarakat adalah buruknya birokrasi, atau masalah-masalah teknis lainnya. Padahal, bukankah semua penyakit-penyakit itu inheren dalam sebuah masyarakat hirarkis dan kekuasaan tersentral seperti negara? Dimana hanya dengan melenyapkan akarnya berupa penghapusan kelas sosial dan sentralisasi kekuasaan, barulah kemerdekaan secara luas bisa diupayakan.
Di level mikro-politis, pendirian negara apalagi kolaborasinya dengan relasi kapital, mendorong struktur alam bawah sadar sosial kita ke dalam oedipus complex. Mentalitas warga negara adalah mentalitas yang tak bisa lepas dan sepenuhnya bergantung dari struktur kekuasaan negara.
Maka dari itu, kita mesti melakukan pendefinisian ulang tentang apa itu penjajahan dan apa itu kemerdekaan. Penjajahan yang ada bukan lagi sekedar fisik, struktural, bersifat teritorial, atau di ranah identitas kolektif. Jadi, sungguh naif bila kemerdekaan yang diperjuangkan terjebak dalam kerangka normatif, apalagi terjebak dalam ritus-ritus periodikal yang memang berfungsi sebagai alat kontrol memorial dan psikis. Perjuangan pembebasan total mestilah melampaui semua itu.
Karena kemerdekaan adalah kondisi yang tak lagi memiliki titik balik, untuk dijajah kembali.
Tagged kemerdekaan, pembebasan nasional, redaksioner