Kontinum.org – Jurnal Antiotoritarian Online

Teks

SELANGKAH LEBIH DEKAT DENGAN DAERAH JAJAHAN

January 20, 2010 by in Analisa, Artikel with 0 Comments

Jelas terdapat hubungan yang sangat kuat antara agenda neo-liberalisme dengan mengapa proses liberalisasi politik di Indonesia berjalan ke arah penguatan ilusi-ilusi demokrasi melalui demokrasi perwakilan. Sejak tahun 1999, desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah sangat kuat didesakkan melalui agen-agen mereka, yang kemudian menemukan kemenangannya dengan dirilisnya UU Pemerintahan Daerah. Dengan pengurangan kekuasaan pemerintah pusat bukan berarti daerah-daerah di Indonesia telah sepenuhnya otonom dan berdaulat mengatur diri sendiri, namun

justru ini adalah babak baru penjajahan. Keluarnya undang-undang tersebut menandakan makin dalamnya cengkeraman kuku neoliberalisme di seluruh negeri di Indonesia khususnya dalam aspek politik. Hal itu berarti para majikan telah selangkah lebih dekat dengan daerah jajahan.

Kekuasaan pemerintah pusat memang sudah lebih ‘berkurang’ dari sebelumnya, mereka para elit politik nasional tidak lagi secara luwes mengontrol semua daerah di Indonesia, tidak lagi sebebas dulu dalam mengintervensi kebijakan hingga ke pelosok. Namun setelah perebutan daerah jajahan dimenangkan pihak neo-liberal, maka daerah di seluruh Indonesia memiliki ‘majikan baru tapi lama’. Terlebih saat para politisi nasional ramai-ramai mengamputasi kekuasaannya secara ‘sukarela’ agar proses penjajahan daerah-daerah berjalan efektif. Toh, mereka tidak perlu mengeluarkan modal yang begitu besar dalam menjajah daerah-daerah, tapi cukup dengan menikmati tetesan yang mengalir ke bawah dengan posisinya sebagai makelar/komprador.

Setting politik yang didesakkan dari luar ini bertujuan agar koordinasi antara daerah jajahan tidak lagi mesti lewat pemerintah pusat dan para politisi nasional, kini jalur bebas hambatan telah dapat ditempuh untuk menghubungkan antara majikan dan jajahan secara langsung, efektif dan terlegitimasi. Dan Pilkada tidak lain adalah kontes memilih siapa makelar terbaik yang dipercaya oleh masyarakat suatu daerah, untuk membantu para pengusaha (lokal maupun global) menancapkan cengkeraman kukunya di daerah tersebut.

Dan masih bisa kita rasakan di tahun 2007 lalu hangatnya aroma neo-liberaliisme dengan dirilisnya Undang-undang Penanaman Modal (UUPM) meski gencar ditentang berbagai komponen masyarakat. Undang-undang PMA adalah bukti satu dari sekian banyak jalan bebas hambatan, dengan terlebih dahulu menyingkirkan pihak-pihak yang menganggu dalam hal ini para politisi nasional dimana dalam bahasa kapitalisme telah menyebabkan ‘ekonomi biaya tinggi’. Sesaat setelah anggota parlemen daerah dan kepala daerah dipilih lewat kontes pilkadal, maka pemodal-pemodal tersebut punya legitimasi kunci secara formal karena dipilih langsung oleh masyarakatnya. Mereka telah memiliki pintu untuk menegosiasikan dan mengeksekusi skema neo-liberalisme hingga pelosok daerah. Ini menandai era baru, dimana penjajahan dilakukan secara global.

Secara tipikal, sistem demokrasi perwakilan dan konstitusi yang menjadi corak umum dari sistem pemerintahan di Negara dunia ketiga, telah menjadi lahan subur bagi mekanisme neoliberal. Melalui proses desentralisasi, dominasi kapital berjalan beriringan bersama kebijakan deregulasi dan politik privatisasi.

Proses deregulasi ekonomi menjadikan neo-liberal semakin kokoh dan mengaburkan kondisi riil dari perbudakan manusia yang selama ini berjalan. Dengan berdalih kebebasan secara ekonomi, pemerintahan pada tingkatan lokal yang terpilih secara konstitusional dengan senang hati akan menekan berbagai hal yang menghalangi kelancaran mekanisme perdagangan bebas ini, memberikan ruang terbuka bagi para investor untuk memperluas “kerajaannya”, tanpa harus mengorbankan orientasi profit yang memapankan mereka (pemerintahan lokal).

Para kaum intelektual dan pakar ekonomi yang mendukung usaha ekspansionis neoliberal seringkali berpendapat bahwa “liberalisasi pasar” akan melahirkan kebebasan politik yang lebih besar bagi semua warga dunia. Asumsinya bahwa liberalisasi pasar tersebut akan memisahkan aspek politik dan ekonomi, sehingga memungkinkan satu pihak menyeimbangkan pihak yang lainnya, juga bahwa aspek politik dan ekonomi merupakan suatu wilayah yang terpisah. Singkatnya arus perputaran kapital yang terpisah disodorkan sebagai jalan yang paling alamiah untuk mewujudkan kebebasan individu.

Dalam perspektif para investor, tentu saja sangatlah mudah menegosiasikan berbagai program kebijakan perdagangan bebas yang tak lagi terkooptasi oleh pola pemerintahan yang sentralistik, dimana kondisi geografis bukan lagi sebuah halangan untuk mendominasi aspek-aspek sosial maupun personal dari kehidupan masyarakat.

Era globalisasi dan perdagangan bebas yang hadir di depan mata adalah merupakan kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh sebagian besar negara dunia ketiga. Krisis ekologi, pertikaian antar etnis, buruknya kondisi pekerja yang terus teralienasi dalam rezim akumulasi kapital, makin mempertegas sebuah kondisi dimana profit dan komoditas diamini sebagai sebuah berhala baru di era modern saat ini.

Semua kenyataan menyedihkan tersebut hadir sebagai representasi mekanisme perdagangan bebas yang mengendalikan hidup keseharian manusia di dalamnya, Semakin kebijakan Neoliberal tersebut diterapkan maka makin teguh pula pengaruh kebijakan neoliberal ini terhadap aspek psikologis publik, inilah suatu fenomena yang dalam pandangan Michel Foucault disebut sebagai “landasan Nalar” yang kokoh, sebuah basis material yang menjejali alam bawah sadar setiap orang untuk menerima legalisasi perbudakan sebagai satu hal yang natural. Sehingga pada gilirannya menutup ruang bagi setiap individu untuk meraih kontrol terhadap kehidupan sosial mereka sendiri, sebuah keadaan yang ditampilkan seolah-olah sebagai respon terhadap kekuatan pasar yang tak terhindarkan lagi.[]

Flash News
Terbitan Terbaru !
Serum #5 - Cover

Serum #5 - Mei 2013