MENGAPA DEMOKRASI PERWAKILAN BUKANLAH DEMOKRASI ?

Dimuat dalam Jurnal Kontinum #1 / Januari 2008

Kita masih sering menganggap bahwa demokrasi pertama kali dipraktekkan di Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Demokrasi klasik ini disebut-sebut sebagai prototipe demokrasi modern dan sering menjadi acuan bahwa pernah ada masa dimana kedaulatan betul-betul dipegang, dikendalikan dan dijalankan oleh rakyat. Saat itu untuk memutuskan sesuatu, masyarakat berkumpul di pusat kota untuk membahas sebuah isu dan mengambil keputusan secara langsung tanpa perwakilan. Forum pengambilan keputusan tersebut kurang lebih seperti forum warga dimana keputusan yang dihasilkan bersama akan mengikat seluruh warga. Anggapan ini menjadi baku dan mapan sehingga membangun sebuah sudut pandang dan kerangka logis atas pemahaman kita atas demokrasi, bahwa apa yang pernah terjadi di Yunani dan Romawi Kuno adalah contoh terbaik demokrasi.

Apa yang dulu berkembang di Yunani dan Romawi bukanlah seperti yang kita yakini sebagai bukti praktek demokrasi yang ideal. Di Yunani, demokrasi memang berlangsung secara langsung, diputuskan secara langsung oleh rakyat tanpa diwakili siapapun. Namun, kita mesti melihat fakta lain bahwa yang berhak untuk datang berpartisipasi dan mengambil keputusan bukanlah keseluruhan warga kota. Sebuah Undang-undang yang dibuat pada abad 5 SM di Solon menyebutkan bahwa yang berhak duduk dalam “ecclesia” (dewan rakyat) hanyalah mereka yang memiliki kekayaan paling tidak 5000 drakhma dan memiliki tanah sekian hektar. Hal yang sama juga terjadi di Romawi Kuno, saat parlemen yang dinamakan Senat dibentuk sebagai hasil dari penggulingan Raja Tarquinius Superbus. Namun Senat Romawi yang juga disebut sebagai contoh penerapan demokrasi klasik yang ideal itu hanya boleh dimasuki oleh para bangsawan dan keturunannya.

Jadi apa yang kita maksudkan dengan demokrasi jika yang memiliki hak, berpartisipasi, dan mengontrol proses politik hanya segelintir dari populasi yang ada? Walaupun prosesnya berlangsung secara langsung, namun ‘demokrasi’ di Athena dan Romawi jelas-jelas melarang lapisan sosial tertentu untuk ikut serta dalam proses politik. Hanya yang pria, warga asli, bukan budak, dan memiliki kekayaan seperti disebutkan dalam peraturan, yang dapat mengikuti proses politik.

Mitos lain berkembang berabad-abad setelahnya. Demokrasi perwakilan dianggap sebagai perkembangan sejarah dari demokrasi langsung ala Yunani dan Romawi karena keterbatasan demokrasi model klasik. Keterbatasan tersebut seperti perkembangan populasi masyarakat yang terus meningkat, sehingga sangat sulit mengumpulkan jutaan orang sekaligus untuk membahas sebuah masalah. Untuk menyiasatinya jumlah orang-orang yang berkumpul mesti disusutkan jumlahnya. “Dewan Rakyat” yang pada mulanya beranggotakan seluruh warga diperciut menjadi “dewan rakyat” yang anggotanya hanya puluhan atau ratusan orang saja. Tentu saja karena diperciut, hanya sebagian kecil saja yang bisa ikut mengambil keputusan. Untuk menentukan siapa saja yang bisa duduk di dewan tersebut sebagai representasi warga lain, diselenggarakanlah Pemilihan Umum (Pemilu).

Padahal jika ditelusuri, konsep representasi (perwakilan) ini muncul dari watak feodalisme (Eropa). Bermula ketika banyaknya rakyat yang memprotes kebijakan kalangan bangsawan waktu itu yang kerapkali menaikkan pajak. Karena tidak mungkin mereka semua bicara satu persatu dengan raja, aspirasi mereka mesti disalurkan lewat wakil-wakilnya (representatives).

Konsep parlemen lahir di Perancis, mulanya disebut curia regis atau dewan penasehat raja. Kata parlemen sendiri berasal dari bahasa Perancis ‘parler‘ yang berarti berbicara karena orang dalam dewan penasehat tersebut aktifitas utamanya adalah berbicara. Sesaat setelah menaklukkan Inggris konsep tersebut dibawa serta dan melebar disana. Jadilah parlemen pertama di dunia di kerajaan Inggris Raya, yang komposisinya adalah pejabat-pejabat kerajaan, bendahara, pengusaha, bangsawan, uskup, dan para gubernur/adipati (Lord, Duke) yang menguasai wilayah tingkat dua.

Berkaitan dengan perkembangan politik jaman itu raja tidak bisa seenaknya memberlakukan sebuah aturan seperti besarnya pajak atau keputusan perang. Kekuasaan seorang raja dalam feudalisme Eropa relatif terbatas, berbeda dengan konsep raja dalam budaya-budaya Timur. Sehingga ia tidak bisa seenaknya menarik pajak atau memutuskan berperang tanpa berkonsultasi dengan parlemen dan meminta dukungan kepada para gubernur yang memiliki banyak pasukan atau uang karena wilayahnya kaya. Secara militer, raja juga tidak memiliki tentara reguler, maka jika ingin berperang harus merekrut petani-petani dari daerah-daerah di kerajaannya, dengan terlebih dahulu meminta ijin majikan langsungnya yakni para adipati.

Meski posisi adipati berada di bawah raja, tetapi secara politik mereka lebih berkuasa di wilayahnya karena memegang kesetiaan dari rakyat lokal ketimbang raja. Sehingga para adipati dan kaum bangsawan ini memiliki posisi tawar yang  tinggi. Mereka bisa saja mensabotase rencana perang raja dengan tidak muncul bersama pasukannya pada saat apel siaga. Dan tentu saja petani-petani yang direkrut ini harus diberi makan dan untuk itu diperlukan uang.

Maka dari situ kedudukan parlemen yang beranggotakan para adipati, bangsawan, uskup dan pengusaha (istilahnya mereka yang “berfikiran jernih”) sedemikian penting secara politis karena menyediakan legitimasi bagi raja.  Dan semenjak urusan yang dibicarakan makin banyak dan rumit, penanganan urusan ini juga memerlukan pembagian tugas dalam parlemen. Parlemen yunior (House of Common) yang terdiri atas non-bangsawan perwakilan dari daerah-daerah menangani urusan pemerintahan sehari-hari, sedang Parlemen senior (House of Lords) yang terdiri atas para bangsawan mengurusi masalah yudikatif (asal mula sistem dua kamar/bikameral).

Dalam perkembangan selanjutnya, demokrasi perwakilan dimapankan dalam sistem demokrasi modern. Ciri-ciri utamanya adalah proses elektoral, pemilihan wakil melalui pemilu dimana hal tersebut menjadi batas maksimum partisipasi seorang warga yang dapat ditoleransi. Bentuk-bentuk aksi langsung yang menyerang sistem politik dan ekonomi kapitalisme merupakan musuh dari demokrasi perwakilan karena akan meruntuhkan legitimasi pemerintah dan parlemen, sehingga hal tersebut tidak dapat ditoleransi oleh demokrasi perwakilan.

Selain itu, pemilu adalah memilih wakil/representasi, dan bukan delegasi. Dalam parlemen, tidak ada pemeriksaan mandat dari konstituen atau pencabutan mandat (recall) karena semenjak seorang anggota parlemen terpilih, hubungannya dengan pemilihnya secara formal telah putus. Lagipula dalam demokrasi perwakilan tak dikenal adanya mandat dari bawah yang memungkinkan rakyat memiliki hak veto untuk membatalkan sebuah keputusan. Tidak ada kewajiban secara hukum untuk berkonsultasi, menemui, atau meminta persetujuan dari para pemilihnya. Ini adalah karakter otoritarian yang secara halus dan kasar bergantian dipraktekkan.

Jadi, dapat terlihat mengapa demokrasi perwakilan tidak lebih dari demokrasi semu. Secara mendasar sistem tersebut menopang kekuasaan yang memojokkan masyarakat luas dengan tehnik yang sama : mengatasnamakan orang banyak. Mengganti pemerintahan korup dengan pemerintahan kerakyatan bagi sebagian orang mungkin terasa penuh harapan, namun semuanya tidak akan pernah membawa kita kemana-mana semenjak hal tersebut tetap mengamputasi otonomi masyarakat untuk terus mendapatkan kontrol seluas mungkin. Inilah yang membuat slogan-slogan semacam “Gulingkan SBY-JK”, “Bangun Pemerintahan Pro-Rakyat” terasa garing karena tak lebih dari upaya usang mengemas permen lama dengan bungkus baru.

Tags: